Bang
Uwo ; Jangan Anti Partai Politik
Saya awalnya mendengar nama Amarullah
Asbah atau biasa dipanggil Bang Uwo setelah Pemilihan Gubernur dan Wagub DKI
Jakarta periode 2002-2007. Saat itu saya bersama teman-teman FKMB (Forum
Komunikasi Mahasiswa Betawi) melakukan aksi unjuk rasa menolak dicalonkannya
Sutiyoso sebagai Gubernur DKI Jakarta dan mendesak partai partai untuk
mencalonkan tokoh Betawi sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Pada akhirnya, Rabu 11 September 2002
melalui rapat paripurna DPRD DKI Sutiyoso dan Fauzi Bowo terpilih sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur DKI dengan meraih 47 suara dari 85 anggota DPRD yang
mengikuti rapat pemilihan. Para demontran—termasuk FKMB—kecewa dengan hasil
pemilihan tersebut dan berujung dengan bentrokan dengan aparat kepolisian.
Malam harinya, saya dan teman-teman
FKMB (ada Boim. Erwin, Anwar, Yusup Cupeng dkk) berkumpul di Kenari untuk
melakukan evaluasi dan refleksi atas hasil pemilihan tersebut. Di antara teman-teman
ada yang kecewa kepada partai politik dan anggota DPRD yang tidak aspiratif.
Bahkan ada teman teman yang anti Partai Politik.
Kekecewaan generasi muda Betawi
ternyata juga diamati oleh Bang Uwo yang saat itu menjadi anggota DPRD DKI dari
Fraksi Golkar. Kendati saat pemilihan Partainya Bang Uwo mendukung
Sutiyoso-Fauzi Bowo tetapi Bang Uwo bisa memaklumi sikap politik para generasi
muda. Bang Uwo memberikan nasehat politik kepada generasi muda Betawi agar
tidak anti partai politik. Anak muda Betawi harus masuk partai politik dan
menjadi anggota dewan jika ingin orang Betawi menjadi gubernur Jakarta ke
depan.
Dalam beberapa kesempatan Bang Uwo
kerapkali memberikan wejangan kepada generasi muda Betawi agar tidak anti
kepada partai politik dan jika perlu masuk ke semua parpol yang ada. Hal ini
bisa saya pahami karena bang Uwo melihat banyak kader muda Betawi yang
tergabung dalam FKMB adalah aktivis mahasiswa dari PMII, HMI dan GMNI yang
seringkali turun jalan mengkritisi parlemen dan pemerintah. Saya sendiri selain
aktivis FKMB juga aktivis PMII yang acapkali unjuk rasa menentang bahaya laten
Orde Baru dan mendukung pembubaran Partai Golkar saat itu, Partai dimana Bang
Uwo bergabung.
Melihat kader muda Betawi yang kritis Bang
Uwo tidak alergi bahkan merangkul mereka karena merupakan kader muda potensial
ke depan. Ia menyewa Kantor Ciks Cikini untuk dijadikan ajang kongkow-kongkow
generasi muda dan aktivis Betawi. Bang Uwo mengadakan pengajian politik setiap
malam Jumat yang dihadiri para aktivis muda. Tiap malam Jumat itu bang Uwo
memberikan paparan tentang pentingnya peran dan kiprah generasi muda Betawi ke
depan. Di Gedung Ciks inilah tempat ajang tumpah gagasan kaum intelektual muda
Betawi yang difasilitasi oleh Bang Uwo.
Dalam beberapa hal tertentu, Bang Uwo
juga ikut turun gunung bersama anak muda Betawi seperti ketika mengajukan
protes keras kepada Menpora Adhyaksa Dault pada bulan November 2006. Saat itu
puluhan aktivis dan tokoh Betawi keberatan pada teks sambutan Adhyaksa dalam
peringtaan Hari Sumpah Pemuda yang tidak mencantumkan peran orang Betawi. Tak
ayal, teks pidato yang dibukukan dan disebarkan ke sejumlah lembaga itu
memancing kemarahan orang Betawi. Menanggapi keberatan tersebut, Menpora meminta
maaf dan mengatakan bahwa teks pidatonya yang dibukukan itu tidak sama dengan
teks aslinya. Dengan kata lain, pidato yang ada di tangan Bang Uwo dan tokoh
Betawi lainnya itu dipalsukan.
Dalam perjalanannya, kendati sudah
tidak duduk di DPRD lagi, Bang Uwo tetap “merawat” generasi muda Betawi.
Ia tetap memberikan waktu khusus untuk anak muda Betawi. Ia selalu hadir dalam
setiap kegiatan aktivis muda Betawi, terutama FKMB. Bang Uwo tidak hanya datang
acara pengkaderan anak Betawi saja, bahkan ia kerapkali datang acara pernikahan
anak muda Betawi yang dibina oleh Bang Uwo. Hampir semua anak muda Betawi yang menikah
bang Uwo pasti hadir. Jarang ada tokoh Betawi seperti Bang Uwo yang tetap setia
mendengar curhatan dan keluh kesah anak muda Betawi baik keluh kesah berkaitan
tentang politik, organisasi hingga keluh kesah pribadi.
Bang
Uwo ; NU Yang Betawi, Betawi Yang NU
Betawi
dan NU merupakan dua sisi yang sulit dipisahkan. Beberapa tradisi amalan ibadah
Betawi itu sama seperti NU begitupun sebaliknya. Yang agak beda adalah tokoh
Betawi belum tentu tokoh NU begitu juga sebaliknya dan aktivis Betawi belum
tentu aktivis NU begitu juga sebaliknya. Tapi hal itu tidak berlaku buat bang
Uwo. Ia adalah NU yang Betawi dan Betawi yang NU. Dalam suatu kesempatan Bang
Uwo pernah bilang "Ane malu kalo berbuat yang kaga
bener, di pundak ane ada dua beban, pundak kanan ada NU dan di pundak kiri ada
Betawi, dipotong tangan ane keluar darah NU dan Betawi"
Bang
Uwo pantas berkata demikian karena Bang Uwo merupakan Mantan Ketua PW GP Ansor
DKI Jakarta satu periode dengan KH. Hasyim Muzadi yang saat bersamaan menjadi
Ketua PW GP Ansor Jawa Timur. Tidak hanya itu, bang Uwo juga paham sejarah NU
baik di Jakarta maupun luar Jakarta. Saya sendiri sering mendengar cerita NU
dari Bang Uwo karena banyak cerita NU terutama NU Jakarta yang tidak terungkap
dalam buku sejarah NU. Bang Uwo bercerita tentang peran dan kiprah H. Abdul
Manaf, kakek H. Fauzi Bowo dalam mengembangkan NU di tanah Betawi. Sehingga
bang Uwo anggap wajar ketika Fauzi Bowo menjadi Ketua PWNU DKI Jakarta yang
dianggap meneruskan perjuangan kakeknya, H. Abdul Manaf.
Ketika
masih menjadi anggota Banser, belum menjadi Ketua Ansor DKI Jakarta, bang Uwo
bercerita bahwa dia merasa bangga bisa menjadi seksi keamanan dalam setiap acara
Muktamar NU. Bang Uwo bertugas mengawal kiai kiai sepuh selama di arena
muktamar dan Bang Uwo merasa kagum dengan kadar kealiman para kiai NU dalam
komisi bahtsul masa’ail. “Ane bawain tuh kitab kitab para kiai kalo lagi mau
bahtsul masa’il, ga apa apa deh ane kaga lancar baca kitab kuning, moga aja ada
berkahnye” ujar Bang Uwo suatu sore hari di Kantor Bamus Betawi.
Di
depan bang Uwo jangan coba coba mengaku aktivis NU Betawi. Bang Uwo bisa
dikatakan tim verifikasi ke-NU-an orang Betawi, Pernah ada tokoh Betawi yang
mengaku aktivis NU di masanya dan berharap dimasukkan menjadi Dewan Penasehat
GP Ansor DKI Jakarta. Ketika hal itu saya konfirmasi kepada Bang Uwo maka
dengan enteng bang Uwo bantah “Ane tuh paham siapa aja orang Betawi yang aktivis
NU, jangankan dia ngomong, dia dehem aja ane udeh tau dia aktivis NU atau
bukan”
Seperti
dalam bidang lain, tentang NU juga bang Uwo seperti ensiklopedi berjalan. Kalau
kepada yang lain Bang Uwo bercerita hanya tentang budaya Betawi, maka kepada
saya ditambah lagi tentang NU. Nampaknya Bang Uwo seperti ketemu teman ngobrol
yang pas dengan saya jika cerita tentang NU. Ini wajar karena bang Uwo tahu kalau
saya adalah anak muda Betawi yang santri dan alumni Pondok Pesantren Lirboyo
Kediri. Bang Uwo juga bercerita ketika ia ikut hadir Muktamar NU ke 30 di
Lirboyo Kediri tahun 1999. Tidak hanya itu bang Uwo juga mengenal peran kiprah para
Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo seperti KH. Mahrus Ali, KH. Maksum Jauhari
dan KH. Idris Marzuqi.
Bang
Uwo ; Pilkada DKI Jakarta 2007 dan 2012
Dalam hajatan Pilkada DKI Jakarta
peran kiprah Bang Uwo tak terbantahkan, baik dalam pilkada DKI Jakarta 2007
maupun 2012. Dalam Pilkada 2007 Bang Uwo dipercaya sebagai Ketua Tim Pemenangan
Fauzi Bowo-Prijanto sementara saya menjadi Koordinator Kelurahan (Koorkel)
Fauzi Bowo Center (FBC) Karang Anyar Sawah Besar Jakarta Pusat.
Dalam
perhelatan politik tersebut Bang Uwo menjadikan ajang perjuangan kaum Betawi
dan NU berkuasa di Jakarta. Hal ini bisa dimaklumi mengingat Fauzi Bowo adalah Mantan Ketua PWNU DKI Jakarta dan cucu dari H.
Abdul Manaf, tokoh Betawi yang memiliki kontribusi besar terhadap NU di
Jakarta. Dasar itulah yang membuat NU DKI Jakarta
begitu solid mendukung Fauzi Bowo pada Pilkada 2007 terlebih rivalnya pada saat itu adalah Adang Darajatun dan Dani Anwar dari Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) yang memiliki faham
ideologi yang berbeda dengan NU.
Ketika proses masih berlangsung
hampir semua partai mendukung Fauzi Bowo-Prijanto, hanya PKB (Partai
Kebangkitan Bangsa) yang belum menyatakan sikap. PKB awalnya mencalonkan Rano
Karno sebagai Cagub DKI Jakarta. Suatu kesempatan Bang Uwo pernah berkata
kepada saya bahwa dukungan PKB sangat berarti buat Fauzi Bowo. “Fauzi Bowo
itu NU dan harus didukung oleh PKB. Kalau PKB kaga dukung Fauzi Bowo kaya pake
baju kaga pake kancing, kaga enak dilihat” Dan pada akhirnya, saat detik
terakhir penutupan pendaftaran calon di KPUD DKI Jakarta akhirnya PKB
menyerahkan berkas dukungan kepada Fauzi Bowo-Prijanto.
Perjuangan akhirnya berbuah manis. Berdasarkan
penghitungan hasil rekapitulasi suara maka pasangan calon Fauzi Bowo-Prianto
memperoleh 57,87 persen suara, sedangkan pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar
memperoleh 42,13 persen. Seluruh warga Betawi dan NU bersuka cita karena
akhirnya perjuangan menjadikan orang Betawi menjadi Gubernur DKI Jakarta
berhasil dengan sukses.
Kendati demikian, fenomena romantis tersebut tidak terulang pada Pilkada 2012. Jika pada Pilkada 2007 NU DKI Jakarta solid
mendukung Fauzi Bowo akan tetapi pada Pilkada
2012 NU terbagi dua kubu,
kubu structural dan kultural. Jika kubu structural dipersepsikan mendukung Jokowi-Ahok sementara kubu kultural dipersepsikan mendukung Fauzi-Nahrowi.
Bang Uwo sudah menduga bahwa NU
akan jadi kendaran politik pilkada 2012. Dengan dukungan arus bawah untuk
menyelamatkan NU maka Bang Uwo didaulat untuk dimajukan sebagai calon Ketua NU
DKI Jakarta. Dua kandidat yang bertarung saat itu, Bang
Uwo dan Djan Farid memiliki kepentingan
yang berbeda mengenai Pilkada. Jika Bang
Uwo dipersepsikan sebagai tokoh
yang mendukung Fauzi Bowo sementara Djan Farid sebaliknya. Kemudian pada akhirnya 4 PCNU memilih Djan Farid menjadi
Ketua PWNU sementara Amarullah Asbah dipilih oleh 2 PCNU.
Menyadari
bahwa Djan Farid sebagai Ketua PWNU akan membawa gerbong struktur NU DKI
Jakarta untuk tidak mendukung Fauzi Bowo maka Bang Uwo membentuk FB Aswaja
(Forum Bersama Warga Ahli Sunnah Wal Jama’ah) sebagai wadah berkumpulnya para
tokoh dan kader NU cultural yang tetap setia mendukung Fauzi Bowo. Langkah Bang Uwo mendapat dukungan berbagai pihak yang peduli terhadap
nasib NU ke depan. Salah satunya adalah saya sendiri yang lebih memilih mundur
dari Wakil Sekretaris PWNU DKI Jakarta dibawah komando Djan Farid dan bergabung
ke FB Aswaja dibawah komando Bang Uwo dan Sanusi Abu Bakar dan saya menjadi
Ketua FBJ (Forum Bersama Jakarta) Sawah Besar sebagai wadah tim pemenangan
Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dalam Pilkada DKI Jakarta 2012.
Sejarah manis tidak terulang,
Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli kalah dalam perolehan suara. Dalam rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara di
tingkat provinsi oleh Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta Jokowi-Basuki meraih
2.472.130 suara atau 53,82 %. Sementara itu, pasangan Fauzi
Bowo-Nachrowi Ramli mengantongi 2.120.815 suara atau 46,18 % dari jumlah suara
sah.
Kekalahan tersebut tentu saja menyakitkan bagi
masyarakat Betawi yang gagal mempertahankan kemenangannya yang telah diraih
saat Pilkada 2007 lalu. Kendati demikian, Bang Uwo tetap mengajak kepada semua
komponen Betawi berlapang dada menerima hasil pahit dan harus dijadikan bahas
intropeksi diri dan evaluasi.
SMS terakhir Bang Uwo.
Minggu
11/5, saya mendapat sms dari Bang Uwo yang isinya menyampaikan keberatan bang
Uwo kepada PKB--Partai tempat saya bergabung—yang akan berkoalisi dengan PDIP
dan mendukung Jokowi sebagai Capres 2014. Saya pun menjawabnya agar saya diberi
waktu untuk ketemu Bang Uwo membicarakan Pilpres dan Betawi ke depan. Bang Uwo
menyanggupi beberapa hari ini akan kumpulkan lagi teman teman bicarakan Pilpres
dan membentuk ABJ (Aliansi Betawi Jaya). Namun dua hari berselang bukan sms
follow up dari Bang Uwo yang saya dapat justru sms khabar wafatnya Bang Uwo
pada Selasa (13/5/2014) sore. Tentu saja khabar ini mengagetkan. Ternyata
sms Minggu lalu atau dua hari sebelumnya adalah sms terakhir Bang Uwo kepada
saya. Akhirnya saya memforward sms dan broadcast berita duka cita tersebut
kepada teman teman. Tentu saja tidak hanya saya yang sedih dan berduka, semua
masyarakat Betawi yang mengenal Bang Uwo merasa kehilangan sosok panutan yang
selama ini bisa dijadikan ajang curhat, ajang keluh kesah, ajang diskusi dan
lain sebagainya.
Selasa
malam di rumah saya sebelum saya ta’ziyah ke rumah duka, saya membuka buku
karya saya yang berjudul Ulama Betawi. Dalam halaman terakhir saya
membaca komentar singkat Bang uwo tentang buku saya sebagai berikut :
Penghargaan
saya kepada adinda Ahmad Fadli HS yang telah menyusun buku ini sebagai karya
intelektual. Sangat jarang anak Betawi yang terpanggil untuk menyusun buku
seperti yang kita baca sekarang. Mari kita contoh keteladanan para Ulama,
pemberi warna kehidupan bagi masyarakat Jakarta khususnya masyarakat Betawi.
Teguh dalam beriman, berkarya mulia pada zamannya. Dari zaman ke zaman pula
jasa dan pengabdian para ulama tetap dikenang.
Amarullah Asbah (Mantan Anggota DPRD DKI Jakarta
& Tokoh Betawi)
Bang
Uwo… Insya Allah perjuangan abang akan kami lanjutkan. Semoga amal ibadah abang
diterima oleh Allah SWT…. Alfatihah……
Jakarta,
Ahad 10 Agustus 2012 jam 2.40
Ahmad
Fadli HS