Rabu, 01 Juni 2011

KH. ABDUL HANNAN SA’ID (1923-2000) Ulama Tajwid Dari Sawah Besar


            KH. Abdul Hannan Sa’id bin H. Sa’id bin Kasiman bin Qadim lahir di Serang Banten pada 04 April 1923. Ia memulai pendidikan formalnya di sekolah dasar pada usia 8 tahun dan selesai pada tahun 1936. Dalam bidang agama Hanan Sa’id belajar kepada KH. Tb. Sholeh Makmun di Pesantren Qur’an Lontar Serang Banten hingga khatam 30 juz selama 9 tahun.
            Di Usia 19 tahun, atau tahun 1942 ia mulai mengajar di Madrasah Al-Ihsaniyah Serang Banten. Pada tahun 1950 ia pindah ke Tambun Bekasi dan mengajar di Madrasah An-Nasyi’ah. Di Tambun Bekasi, ia menikah dengan Siti Nurjanah binti Akhir pada 15 November 1950 dan dikaruniai 5 orang putra. Pada 7 Agustus 1975 istrinya, Siti Nurjanah wafat kemudian Hannan Sa’id menikah kembali pada 12 November 1975 dengan Siti Umayyah binti H. Nalim, perempuan Betawi Kampung Baru Sukabumi Udik (Selatan) Jakarta Barat dan mendapat keturunan 3 orang putra dan 2 orang putri. Penulis adalah anak kedua dari pernikahan Hanan Sa’id dengan Siti Umayyah.
            Setahun kemudian, 1951. Hannan Sa’id pindah ke Jakarta dan mendirikan Ma’had Ta’lim Qur’an dan Kepala Madrasah Manhalun Nasyi-in di Karang Anyar Sawah Besar Jakarta Pusat di atas tanah wakaf Ahmad bin Maih. Selain pengasuh di Ma’had dan Madrasah tersebut, ia pengajar agama di beberapa tempat seperti di Corp Cacat Veteran, di perkumpulan anggota polisi Seksi III Pasar Baru, beberapa tempat di Sawah Besar Jakarta Pusat dan tempat lainnya di Jakarta hingga akhir hayatnya.
            Pada tahun 1959, ia dinyatakan lulus ujian sebagai Guru Agama dan mendapatkan status sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pada tahun 1961 ia menjadi Kepala Kantor Penerangan Agama Daerah Tingkat II Jakarta Utara kemudian diangkat sebagai Kepala Dinas Penerangan Agama Jakarta Barat pada tahun 1968 kemudian menjadi Kepala Inspeksi Penerangan Agama Jakarta Pusat pada tahun 1973 hingga pensiun pada tahun 1979.
            Pada tahun 1973. Hannan Sa’id menunaikan ibadah haji bersama istrinya, Siti Nurjanah dan sepulang dari ibadah haji kegiatan mengajarnya semakin padat. KH. Abdul Hannan Sa’id di samping seorang guru, dosen di Perguruan Tinggi Darul Hikmah Jakarta Utara,  juga aktif di LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an) DKI Jakarta sebagai seorang pembina, juri atau dewan hakim di MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) dan MHQ (Musabaqah Hifdzil Qur’an), penulis dan mubaligh. Ia bersedia hadir walau hanya untuk menjadi juri MTQ dengan peserta usia taman kanak-kanak dan remaja. Bahkan, ia pernah menjadi Ketua Dewan Hakim MTQ antar waria yang diadakan di Sasana Langen Budaya TMII Jakarta Timur pada 15 Desember 1990. Bidang dakwahnya semakin luas ketika ia diminta menjadi anggota Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an, Departemen Agama RI dari tahun 1993 sampai ia wafat pada tahun 2000.
            Semasa hidupnya, KH. Abdul Hannan Sa’id pernah menjadi ketua atau koordinator dewan hakim MTQ dan MHQ sebanyak 150 kali terhitung tahun 1953 hingga 1993. Jika ditambah dengan posisinya sebagai anggota Dewan Hakim MTQ atau MHQ baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional maka sebanyak 255 kali mulai tahun 1953 hingga 1999. Ia juga sebagai Pembina bagi Qori/Qoriah dan Hafidz/Hafidzah bagi duta DKI Jakarta untuk MTQ dan MHQ Nasional dari tahun 1962 hingga 1999.
            Dari kegiatannya mengajarkan ilmu tajwid dan qira’at al-qur’an banyak murid-murid KH. Abdul Hannan Sa’id yang kelak menjadi Qori Nasional dan Ulama terkemuka. Di antaranya, H. Muammar ZA, H. Muhajir, H. Nanang Qosim, H. Muhammad Ali, H. Muhammad Dong, H. Nafis Qurthubi, Hj. Sa’idah Ahmad, Dra. Hj. Maria Ulfah, KH. Abdurrahman Nawi (Pengasuh Pesantren Al-Awabin Depok), KH. Tajudin Hasan (Pengasuh Pesantren Darul Hasan Cipondoh Tangerang) H. Mafakhir Rawa Belong, KH. Hasan Bisri, KH. Muhammad Ali Samman (Perguruan Islam Manhalun Nasyi-in Sawah Besar), KH. Ibrahim Karim (Yayasan Hubbul Wathon Cempaka Putih/MUI DKI Jakarta), KH. Syahid (Bandung), H. Humaidi (Banten), Hj. Ery Murniasih (Kuningan Jawa Barat), Hj. Siti Sarah (Sukabumi), Hj. Tatu Mulyana (Ibu Ustadz Jefri Al-Bukhory), H. Abdul Wadud K.A, H. Syarifuudin Muhammad, dan lain sebagainya.
            Dengan ulama-ulama Betawi, KH. Abdul Hannan Sa’id memiliki kedekatan dengan KH. Abdullah Syafi’i, KH. Mursyidi, KH. Abdul Rasyid bin H. Kirom Madrasah Ar-Rusyda Klender, KH. Syafi’i Hadzami, KH. Muhammad Radjiun dan KH. Rahmatullah Shidiq. Mereka saling bersilaturahim dan bertukar pikiran tentang disiplin ilmu yang mereka kuasai masing-masing.
            Salah satu sumbangan pemikiran KH. Abdul Hannan Sa’id yang sangat penting dan menjadi kontroversi di kalangan ahli tajwid adalah penemuannya tentang qalqalah akbar. Sebagaimana diketahui bahwa qalqalah di dalam ilmu tajwid ada dua, yaitu qalqalah shugra dan qalqalah kubra. Sementara KH. Abdul Hannan Sa’id berpendapat bahwa qalqalah ada tiga dengan ditambah qalqalah akbar. Qalqalah yang lebih daripada qalqalah kubra. Qalqalah akbar misalnya dapat ditemukan pada pengucapan watabb di QS. Al Lahab.
            Semasa hidupnya, KH. Abdul Hannan Sa’id menulis 6 (enam) kitab yaitu  Taysîr al-Musykilāt fi Qirā’ah al-Âyāt, Miftâh at Tajwîd juz I dan II, al-Masâ’il at-Tajwîdiyyah Juz I dan II, pegangan khatib, risalah pegangan pelatih qori/qariah, dan al-Asytât fi al Hikâmi wa al-fawa’id wa al-Maqâlât.
            Kitab Taysîr al-Musykilāt fi Qirā’ah al-Âyāt merupakan karya masterpiece dari KH. Abdul Hannan Sa’id dan merupakan buah dari ketekunannya selama puluhan tahun karena isinya berasal dari catatan-catatan yang ditulisnya sebagai pelatih ketika para qari dan qariah serta hafidz dan hafidzah menemukan kesukaran dalam mengucapkan huruf atau ayat tertentu di dalam al-qur’an menurut riwayat Imam Hafs. Kesukaran tersebut dialami ketika mereka mengikuti tiap-tiap training centre (pemusatan pelatihan) untuk mengikuti even MTQ Nasional pada tahun 1968 hingga pada tahun 1991.
            KH. Abdul Hannan Sa’id wafat pada hari Jumat, 19 Dzulqo’dah 1420 H atau 25 Februari 2000 di kediamannya di Jl. Dwiwarna II Karang Anyar Sawah Besar Jakarta Pusat dan dimakamkan berdekatan dengan makam istrinya Hj. Siti Umayyah di Pemakaman Kampung Baru Sukabumi Udik (Selatan) Kebon Jeruk Jakarta Barat.
            Pada 03 Januari 2003, Almarhum KH. Abdul Hannan Sa’id mendapat piagam penghargaan selaku Ulama Qur’an dan Hamalatul Qur’an dari Menteri Agama RI, Prof. Dr. H. Sayyid Aqil Munawar, MA. Almarhum KH. Abdul Hannan Sa’id walaupun dilahirkan di Serang Banten tetapi mendapat tempat di kalangan masyarakat Betawi karena dua istrinya orang Betawi dan hampir 50 tahun menetap dan mengajar ilmu tajwid sampai wafatnya di Betawi sehingga MUI Jakarta, KODI dan Jakarta Islamic Centre (JIC) memasukkan KH. Abdul Hannan Sa’id dalam Seri Ulama Betawi (1) yang dimuat dalam Tabloid Republika, Dialog Jumat, 23 Februari 2007 dan buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi yang diterbitkan oleh Jakarta Islamic Centre (JIC) pada September 2009 serta buku Islam Ibukota dari Kramtung hingga ke Brussels yang diterbitkan oleh Jakarta Islamic Centre (JIC) pada Desember 2009.

SUMBER :

Judul Buku:
ULAMA BETAWI
(Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20).

Penulis: Ahmad Fadli HS

Penerbit: Manhalun Nasyi-in Press, Jakarta, 2011

ISBN:
978-602-98466-1-4



H. MUHAMMAD ARIF/H. DARIP (1886-1981) Panglima Perang Dari Klender



            H. Muhammad Arif atau biasa dipanggil H. Darip dilahirkan di Klender pada tahun 1886 dari pasangan H. Kurdin dan Hj. Nyai. Ia anak ketiga dari tiga bersaudara. Ia tidak menempuh pendidikan formal membaca dan menulis. Pelajaran membaca dan menulis huruf latin justru diperolehnya saat dipenjara dan belajar dari temannya. Dalam belajar agama, tidak diketahui kepada siapa H. Darip belajar agama akan tetapi ada kemungkinan ia belajar agama langsung kepada ayahnya.
            Pada tahun 1914 ia pergi haji ke Makkah dan langsung menetap di sana untuk memperdalam ilmu agama hingga kurang lebih dua tahun setengah (1916). Pulang dari Mekah, H. Darip mengawali perjuangannya dengan berdakwah di sebuah mushalla kecil, yang kini menjadi Masjid Al-Makmur yang cukup megah di Klender dan berjuang bersama para ulama lain, yakni KH Mursyidi dan KH Hasbiallah. Selain dikenal sebagai da’i, ia juga seorang yang memiliki ilmu main pukulan (ilmu silat) yang lihai. Ia adalah seorang tokoh yang disegani masyarakat, daerah kekuasaannya mencakup Klender, Pulogadung, Jatinegara hingga sampai Bekasi. 
            Pada saat terjadi revolusi fisik melawan Jepang dan Belanda, H. Darip membentuk BARA (Barisan Rakyat). Ia mengumpulkan para tokoh, pemuda dan jagoan yang tersebar di Klender dan sekitarnya. Di antara mereka yang ikut bergabung adalah H. Hasbullah (Kakak dari KH. Hasbiyallah) dan KH. Mursyidi. Mereka terlibat dalam pertempuran di beberapa front di kota Jakarta. H. Darip sendiri saat itu dijuluki "Panglima Perang dari Klender". Sebuah brosur dari Angkatan 45 DKI tanggal 17 Agustus 1985—empat tahun setelah Haji Darip meninggal dunia—menyebutkan, H. Darip pada zaman penjajahan Belanda (sebelum perang dunia kedua), berjuang bersama Soekarno bergerak di bawah tanah, terutama di Cilincing, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
            Ketika pendudukan Jepang, menyaksikan kekejaman pasukan Dai Nippon ini, H. Darip memimpin masyarakat di Klender dan menghimpun para jawara, narapidana dan napi Rutan Cipinang untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang. Sewaktu dia masih memimpin pergerakan dari Klender, banyak para pemimpin yang datang bahkan menginap di kediamannya, di antaranya  Soekarni, tokoh Murba, Kamaludin, Syamsuddin orang Padang, dan Pandu Kartawiguna. Mereka menginap di rumah H. Darip dan menyatakan kepadanya bahwa sebentar lagi Indonesia akan merdeka dan mereka membicarakan pengusiran orang Jepang.
            Anak buah H. Darip yang tergabung dalam BARA dimandikan oleh H. Darip kemudian diisi badannya dengan ilmu kebal lalu dicoba dengan dibacok badannya dengan golok. Setelah dirasa memiliki ilmu kebal maka pasukan BARA diperbolehkan untuk berjuang mengusir Jepang. H. Darip memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu dan mengusir tentara Jepang di Pangkalan Jati, Pondok Gede, Cipinang Cempedak, sepanjang Kali Cipinang dan lain-lain. Anak buah H. Darip bahkan sampai membunuh tentara Jepang. Hal tersebut dilakukan oleh anak buah H. Darip karena jika tentara Jepang tidak dibunuh maka anak buah H. Darip yang terbunuh karena tentara Jepang mempunyai senjata api sedang anak buah H. Darip hanya mempunyai kekuatan fisik dan golok saja. Beberapa sumur di Klender dan sekitarnya tidak ada yang mau minum airnya karena penuh dengan bangkai tentara Jepang, begitupula dengan sungai Sunter yang dipenuhi dengan mayat tentara Jepang.
            Setelah berhasil mengerahkan rakyat yang dihimpun dan dipimpinnya untuk menghabiskan tentara Jepang yang bertugas di pinggiran, maka H. Darip menyadari bahwa kekuatan rakyat tidak akan berarti jika tidak dilengkapi dengan peralatan senjata, logistik dan persediaan makanan. Kira-kira seminggu sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, H. Darip mendatangi Camat Klender dan meminta segala pakaian rakyat yang akan dibagikan jangan dikeluarkan sebelum saatnya tiba dan menunggu komando darinya.
            H. Darip juga mendatangi kantor polisi yang masih di bawah kekuasaan Jepang. Ia meminta supaya senjata-senjata yang ada di kantor polisi jangan diserahkan kepada Jepang, melainkan harus diserahkan kepada rakyat nanti. Lalu H. Darip menyuruh komandan polisi membuat pernyataan dan membubuhkan tanda tangannya untuk menyerahkan senjata kepada rakyat. Kemudian H. Darip pergi ke Seksi Tujuh. Ia bertemu dengan Darmatin dan Juhra anak Banten dan Sukahar dan meminta kepada mereka agar persenjataan yang ada di sana diserahkan kepada rakyat. Kemudian H. Darip menuju penjara Cipinang. Direkturnya diberi tahu hal yang sama dengan apa yang dikatakan pada Camat, Kepala polisi maupun Komandan Seksi VII. Pada saatnya pula nanti H. Darip meminta agar para tahanan dilepaskan. Ia juga datang ke Seksi V dan melakukan hal yang sama.
            Hari Proklamasi makin dekat dan keadaan makin panas saja. Tetapi dia telah mempersiapkan anak buahnya. Dia juga mendatangi gudang-gudang beras di Klender untuk memblokir beras yang ada jangan sampai keluar dari Klender. Maka jadilah Klender wilayah pertahanan yang merupakan gudang makanan dan persenjataan ala kadarnya.
            H. Darip mempersiapkan hal tersebut di atas setelah mendapat informasi dari Soekarni bahwa Indonesia sebentar lagi akan merdeka. Informasi itu diperoleh ketika terjadi serangan bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945 oleh Amerika Serikat atas perintah Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman. Setelah pengeboman tersebut maka pada 15 Agustus, Jepang mengumumkan bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Berita ini diketahui oleh kalangan pemuda bangsa Indonesia melalui berita siaran radio BBC (British Broadcasting Corporation) London. Pada saat yang sama Soekarno dan Hatta baru kembali ke tanah air memenuhi panggilan Panglima Mandala Asia Tenggara, Marsekal Terauchi di Saigon, Vietnam.
            Saat kembali ke tanah air, Soekarno ditemui para pemuda untuk membicarakan kemerdekaan Indonesia. Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00 WIB, Soekarno dan Hatta "diculik" dan dibawa ke Rengasdengklok, Karawang oleh para pemuda di antaranya Soekarni, Chaerul Saleh dan lain-lain. Dalam peristiwa Rengasdengklok itu, H. Darip menjadi saksi hidup ketika para pemuda mendesak Soekarno Hatta agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
          Kemudian Soekarno Hatta ditempatkan di suatu rumah yang tidak layak di pinggir kali. Lalu H. Darip meminta kepada Soekarni dan kawan-kawannya agar Soekarno Hatta di tempatkan di rumah yang layak karena Soekarno Hatta adalah calon pemimpin yang harus dihormati. Atas permintaan H. Darip maka Soekarni dan kawan-kawan menempatkan Soekarno Hatta di rumah perkampungan milik warga Tionghoa, Djiaw Kie Siong.
          Pada waktu itu Soekarno dan Hatta menginginkan agar proklamasi dilakukan melalui PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sementara golongan pemuda menginginkan agar proklamasi dilakukan secepatnya tanpa melalui PPKI yang dianggap sebagai badan buatan Jepang. Selain itu, hal tersebut dilakukan agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Para golongan pemuda khawatir  apabila kemerdekaan yang sebenarnya merupakan hasil dari perjuangan bangsa Indonesia, menjadi seolah-olah merupakan pemberian dari Jepang.
          Setelah melalui perundingan yang panjang akhirnya disepakati bahwa proklamasi kemerdekaan dilaksanakan pada 17 Agustus di Jakarta kemudian bendera Merah Putih dikibarkan para pejuang di Rengasdengklok pada Rabu tanggal 16 Agustus, sebagai persiapan untuk proklamasi kemerdekaan Indonesia.
            Pada akhirnya, tepatnya hari Jumat, 17 Agustus 1945 atau bertepatan dengan 09 Ramadlan 1364 H, Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia. Proklamasi kemerdekaan tersebut disambut suka cita oleh seluruh rakyat Indonesia, tak ketinggalan rakyat yang berada di Klender dan sekitarnya. Setelah proklamasi kemerdekaan, Soekarno berkunjung ke Klender dan memimpin rapat akbar di sana serta meminta rakyat Klender ikut membantu mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
            Selanjutnya H. Darip memerintahkan rumah-rumah di Klender menaikkan bendera merah putih. Pabrik-pabrik di Klender, Cipinang, Jatinegara dan lain-lain diperintahkan mengganti bendera Jepang dengan merah putih. H. Darip juga meminta agar pabrik tidak mengeluarkan beras kecuali untuk makan laskar rakyat. Setelah berhasil menghimpun senjata, makanan dan pakaian, H. Darip memerintahkan anak buahnya untuk menjaga ketat wilayah Klender agar tidak dimasuki tentara Jepang atau mata-mata Jepang.
            Setelah Jepang menyerah dan kembali ke negerinya, Belanda dan tentara sekutu berusaha kembali menjajah Bangsa Indonesia. H. Darip bersama pasukan BARA bersiap-siap untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh Soekarno saat rapat akbar di Klender.
            Pada suatu penyerangan, Klender berhasil diduduki Belanda dan sekutu sehingga H. Darip dan pasukan BARA hijrah ke beberapa tempat seperti Tambun, Cikarang, Lemah Abang, Bekasi, Cikampek, Karawang hingga ke Purwakarta dan membentuk BPRI (Barisan Pejuang Rakyat Indonesia) Jakarta Raya. Dari tempat persembunyiannya—dengan pangkat Letnan Kolonel Tituler—ia bermarkas di Purwakarta dan menyusun strategi melawan NICA Belanda.
            Suatu ketika benteng pertahanan di Purwakarta diserang oleh Belanda melalui hujan bom dan peluru dari udara dan darat sehingga H. Darip dan pasukannya harus mengungsi ke hutan. Perjalanan ke hutan sangat memprihatinkan, terlebih di antara 4 (empat) isteri H. Darip ada yang sedang hamil dan ada yang mempunyai bayi yang masih kecil. Mereka harus turun naik bukit, menyebrang sungai dan menahan lapar dan dahaga. Jika rasa lapar dan dahaga tidak tertahankan mereka singgah ke rumah penduduk setempat untuk meminta makanan dan minuman. Di kemudian hari untuk keselamatan anak dan isteri-isterinya, H. Darip mengirimkan mereka ke Klender dan berpesan agar tidak memberitahukan kepada siapapun tentang posisi H. Darip dan pasukannya.  
            Pada saat memasuki bulan puasa, H. Darip dan pasukannya tetap berpuasa dan berjuang melawan Belanda. Mereka dari Parakan Lima menuju hutan Cempaka, hutan Bendul, Kembang Kuning dan Cibatu. Di hutan Cempaka H. Darip menghimpun kekuatan dan mengatur strategi untuk menyerang musuh. Pertahanan Belanda di Purwakarta kerapkali dibuat panik oleh serangan mendadak yang tidak terduga di malam hari atau menjelang subuh hingga suatu ketika Jayusman, anak buah H. Darip yang berasal dari Banten tertangkap. Ia ditembak tetapi tidak mempan dan akhirnya ia tewas setelah dipulir kepalanya.
            Belanda berusaha keras untuk menangkap H. Darip akan tetapi usaha itu sia-sia. Bahkan Belanda menjanjikan hadiah besar bagi orang yang bisa menangkap H. Darip. Pada akhirnya Belanda mengirim mata-mata untuk bergabung dan menjadi anak buah H. Darip. Tersebutlah Jami dan Sarosa yang menjebak dan membujuk H. Darip agar pergi ke Jogjakarta untuk kembali dekat dengan Soekarno. Sejak Januari 1946 Ibukota memang pindah dari Jakarta ke Jogjakarta.
            Sarosa berangkat mendahului. Kemudian menyusul H. Darip, Jami dan Entong, anak perawat kuda yang berumur 13 tahun. Ketika malam hari melewati hutan Jati, Sadang Purwakarta H. Darip disergap Belanda. H. Darip diikat erat dengan kabel listrik dan dibawa memakai mobil Jeep. Jami tidak terlihat ditangkap. Akhirnya ia menyadari bahwa ia dijebak dan dikhianati oleh Jami. Dari Sadang H. Darip dibawa ke Jakarta kemudian dimasukkan ke sel Polisi I Kebayoran selama tiga hari lalu dipindah ke Ancol.  Dalam kondisi tetap diikat dengan kabel listrik, H. Darip disiksa dengan gagang senapan dan dipukul bertubi-tubi sampai akhirnya H. Darip dijebloskan ke tahanan Glodok, Jakarta Kota (kini merupakan bagian dari pertokoan Harco) pada tahun 1948.
            Berita tertangkapnya H. Darip sampai ke anak buahnya. Mereka sangat marah ternyata pimpinannya tertangkap karena dijebak dan dikhianati oleh Jami. Kemudian anak buahnya mencari-cari Jami hingga akhirnya Jami ditangkap dan tewas dibunuh oleh anak buah H. Darip yang setia.      
            Pada akhir tahun 1949 H. Darip menulis surat kepada Soekarno agar ia dibebaskan dari penjara. Konon surat tersebut diterima oleh Fatmawati, istri Soekarno di Istana Negara. Tetapi Soekarno tidak bisa membebaskan H. Darip. Setelah penyerahan kedaulatan pada akhir Desember 1949, H. Darip akhirnya dibebaskan dari penjara. Para anak buahnya yang hampir 100 orang menyambut H. Darip di luar penjara dan membawa ke rumah Ghozali di Kebon Jahe kemudian ke Klender. Rumahnya di Klender sudah habis dibakar oleh Belanda saat ia di penjara. Lalu bersama-sama anak buahnya dan rakyat Klender secara gotong royong membuat rumah sederhana untuk H. Darip.
            Pada Mei atau Juni 1950 H. Darip dipanggil Soekarno ke Istana Cipanas. Ia dijemput oleh Letnan Ishaq Latief. Dalam pertemuan tersebut dihadiri oleh Menteri Pertahanan Hamengkubuwono. Soekarno menyambut dan memeluk H. Darip sambil menangis. Soekarno lalu menjelaskan surat H. Darip yang dikirimkan untuknya. Soekarno merasa yakin bahwa H. Darip akan bebas dan tidak akan mati di penjara.
            Pada tahun 1950 ketika keamanan Jakarta belum sepenuhnya stabil, foto H. Darip terjual habis. Masyarakat Jakarta, khususnya Klender dan terutama keturunan Cina akan merasa aman jika rumahnya terpampang foto H. Darip. Para pencoleng dan gerombolan penjahat tidak akan menggangu rumah atau toko yang terpampang foto H. Darip.
            H. Darip adalah rakyat biasa yang kemudian memimpin rakyat untuk melawan dan mengusir penjajah. Ia memiliki wibawa sehingga bisa menggerakan api semangat perlawanan terhadap penjajah. Ia juga berjuang tanpa pamrih sehingga ia tidak memperdulikan gelar veteran dan pahlawan. Di akhir masa hidupnya, ia menghabiskan waktu untuk berdakwah di Klender dan sekitarnya untuk mengamalkan ilmu yang ia dapat saat belajar di Makkah.
            H. Darip meninggal di Jakarta pada 13 Juni 1981 dan dimakamkan di Pemakaman Wakaf Ar-Rahman Jalan Tanah Koja II, Jatinegara Kaum, Pulogadung Jakarta Timur bersebelahan dengan makam salah satu istrinya, Hj. Hamidah.

SUMBER :

Judul Buku:
ULAMA BETAWI
(Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20).

Penulis: Ahmad Fadli HS

Penerbit: Manhalun Nasyi-in Press, Jakarta, 2011

ISBN:
978-602-98466-1-4

Selasa, 31 Mei 2011

ULAMA BETAWI (Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20).


Judul Buku:
ULAMA BETAWI
(Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20).

Penulis: Ahmad Fadli HS

Penerbit: Manhalun Nasyi-in Press, Jakarta, 2011

ISBN:
978-602-98466-1-4

            Betawi kerapkali dijadikan bahan kajian dan diskusi yang menarik dari dulu hingga kini, karena diskursus mengenai Betawi mengandung estetika tersendiri. Topiknya pun beraneka warna dan selalu aktual serta faktual bahkan terkadang kontroversial, seperti kajian sosial politik dan kebudayaan Betawi.
            Kendati demikian, corak keislaman dan sejarah sosial intelektual Islam di Betawi belum banyak dikaji, karena perhatian baru difokuskan kepada sejarah sosial, politik, keseniaan dan kebudayaan serta kepurbakalaan. Padahal sejarah sosial intelektual Islam di Betawi telah memiliki peran yang signifikan dalam perubahan di masyarakat Betawi. Para pelaku sejarah intelektual Islam di Betawi adalah para ulama Betawi pada abad ke 19 dan 20 yang menimba ilmu di Timur Tengah selama bertahun-tahun. Setelah mereka menuntut ilmu di Timur Tengah, khususnya di Makkah dan Madinah, sebagian besar mereka kembali ke Betawi. Di sinilah mereka menjadi penyebar utama tradisi intelektual keagamaan Islam di Makkah dan Madinah ke Betawi.
            Penelitian ini mencoba menelusuri jaringan ulama Betawi yang belajar langsung kepada ulama Timur Tengah pada abad ke-19 dan 20 serta upaya transmisi keagamaan di Betawi. Kajian ini mencoba mengembangkan teori Azyumardi Azra dan Martin van Bruinessen tentang adanya keterkaitan intelektual antara ulama Nusantara dengan ulama Makkah dan Madinah dan upaya reformasi yang dilakukan sekembalinya mereka ke tanah air. Perbedaan hanya terletak pada dimensi ruang dan waktu.
            Penelitian ini juga mencoba menelusuri perkembangan Islam di Betawi mulai masa Jayakarta hingga Batavia dan menelusuri corak keberagamaan Islam di Betawi. Terlepas dari perdebatan asal usul komunitas etnis Betawi, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa etnis Betawi memiliki ketaatan yang fanatik terhadap ajaran Islam dan perasaan anti Barat yang kuat. Kuatnya pengaruh Islam dan sentimen anti Barat pada pertengahan abad ke-19 itu dapat disebabkan oleh perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat terutama dengan munculnya sejumlah ulama-ulama Betawi terkemuka yang telah berhasil dalam memberikan pemahaman tentang Islam.
            Islam dan Betawi merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan sebutan “Betawi” hanya bisa digunakan oleh penduduk asli Jakarta yang beragama Islam. Sedangkan penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen secara turun temurun biasanya disebut dengan daerah asalnya, seperti penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen yang diduga keturunan Mardijkers di daerah Tugu Jakarta Utara disebut orang Tugu dan penduduk asli beragama Kristen di daerah Depok disebut orang Depok atau Belanda Depok. Penduduk asli Batavia saat itu kerapkali menyebut dirinya dengan Orang Selam yang agaknya merupakan pengucapan setempat untuk Islam. sebagaimana Srani untuk kata “Nasrani”.
            Hamka menemukan bukti tentang kuatnya orang Betawi memegang agama Islam. Selama 350 tahun dijajah Belanda tetapi jarang sekali terdengar anak Betawi yang masuk Kristen. Kendati orang Betawi hidup dalam kemiskinan dan kekurangan ilmu pengetahuan tetapi jika masuk Kristen adalah aib sekali. Hal itu menolak teori bahwa kemiskinan mudah menjadi kafir. Segala sesuatu telah diderita oleh orang Betawi kecuali menjadi kafir.
            Ridwan Saidi berpendapat bahwa Islam memberi makna eksistensial akan keberadaan orang Betawi pada era penjajahan Belanda. Zikir, ratib, pembacaan manakib Syaikh Saman, maulid Barjanji serta Diba. Semuanya merupakan ekpresi pengagungan pada Asma Allah sekaligus pernyataan diri isyhadû bi annâ muslimûn (saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam). Suatu ekpresi teologis yang nyaris sepi dari politik, kendati demikian penjajah Belanda dibuat tidak berkutik.
            Persentuhan Islam dengan budaya Betawi tanpa menimbulkan konflik. Hal ini bisa terjadi karena Islam yang hadir di Betawi lebih bermadzhab Syafi’i dan berfaham Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang cenderung lebih toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal. Oleh karenanya dapat dipahami bila organisasi Islam modernis dan Organisasi Islam yang berfaham Wahabi kurang mengakar di kalangan masyarakat Betawi karena organisasi tersebut kerapkali mengecam apa yang dinamakan TBC (tahayul, bid’ah dan khurafat). Kecaman tersebut dalam banyak hal tertuju pada budaya dan tradisi Betawi yang dalam beberapa hal bersentuhan dengan tahayul, bid’ah dan khurafat.
            Deskripsi tentang kuatnya masyarakat Betawi dalam memegang teguh ajaran Islam dikarenakan oleh perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat terutama dengan munculnya sejumlah ulama-ulama Betawi terkemuka dalam memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Ulama-ulama Betawi tersebut memiliki jaringan keilmuan di Timur Tengah karena menimba ilmu di beberapa negara Timur Tengah sehingga mereka melakukan penyebaran keislaman di Nusantara terutama di Betawi.
            Azra mengungkapkan bahwa penyebaran keilmuan Islam di Nusantara sampai abad ke-19 bersumber dari ulama yang terlibat jaringan intelektual dengan ulama Timur Tengah, terutama Makkah dan Madinah (Haramain). Penulis berkeinginan untuk mengembangkan teori yang telah dikemukakan oleh Azra tersebut.
            Keilmuan Islam yang berlangsung di pusat dunia Islam (Haramain) saat itu memiliki karakteristik yang jelas, yaitu gagasan pembaharuan sebagai rekontruksi sosio-moral masyarakat Muslim. Pembaharuan ini menekankan pada ketaatan terhadap syariat atas tasawuf dari Masyarkat Muslim. Penerimaan ulama Haramain terhadap tasawuf kala itu adalah tasawuf yang telah diperbaharui dan sejalan dengan tuntutan syari’at sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Ghazali.
            Penyebaran pembaharuan keilmuan Islam di Betawi abad ke-19 dan 20 merupakan proses penerusan ulama Nusantara yang memiliki hubungan intelektual dengan ulama Makkah abad sebelumnya. Mereka telah menjalin hubungan erat dengan sejumlah tokoh penting di pusat keilmuan Makkah. Keterlibatan ulama Nusantara dalam jaringan ulama Haramain dimulai pada paruh kedua abad ke-17 yang dimulai oleh Nuruddin ar-Raniri (w. 1069 H/1658 M), Abdur Rauf Singkel (1035-1105 H/1615-1693 M) dan Yusuf al-Maqassari (1626-1699). Kemudian disusul oleh ulama abad ke-18 yaitu Abdul Shomad al-Palimbani (1704-1788), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812), Dawud bin Abdullah al-Fatani (1718-1847), Muhammad Nafis al-Banjari (1735-1812) dan Abdurrahman al-Mashri al-Batawi.
            Pembaharuan keagamaan secara langsung dari Makkah ke Betawi telah terjadi pada abad ke-19 dan 20. Bahkan pada abad ke-18 sudah ada ulama Betawi yang bernama Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi yang menimba ilmu di Makkah. Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi adalah teman karib Abdul Shamad Al-Palimbani dari Sumatera Selatan (1116/1704-1203/1789) dan Muhammad Arsyad Al-Banjari (1122/1710-1227/1812) dari Kalimantan Selatan. Kendati informasi mengenai Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi ini sangat minim, tetapi peran dan kiprahnya menunjukkan bahwa dia terlibat aktif secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama terpenting di Nusantara pada abad ke 18.
            Sebelum kembali ke Betawi, karena merasa belum mendapat pengetahuan yang memadai, Abdurahman Al-Batawi bersama dengan Muhammad Arsyad dan Abdul Shamad meminta idzin kepada gurunya, ‘Atha’ Allah Al-Mashri  untuk menambah pengetahuan di Kairo. Kendati menghargai niat baik mereka, ‘Atha’ Allah menyarankan agar mereka lebih baik kembali ke Nusantara sebab mereka sudah dianggap memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup dan dapat mereka manfaatkan untuk mengajar di tanah air mereka. Mereka tetap memutuskan pergi ke Kairo tetapi hanya untuk berkunjung bukan untuk belajar. Mungkin sebagai tanda hubungan baik mereka dengan ‘Atha’ Allah dan kunjungan mereka ke Kairo sehingga Abdurahman Al-Batawi menambahkan laqab “Al-Mashri” pada namanya.
            Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi bersama Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Al-Bugisi kembali ke Nusantara pada 1186/1773. Sebelum ke Banjarmasin, atas permintaan Al-Batawi, Muhammad Arsyad tinggal di Batavia selama dua bulan. Kendati dia tinggal di Batavia hanya untuk waktu yang relatif singkat tetapi dia mampu melakukan pembaruan penting bagi kaum Muslim di Batavia. Beberapa masjid di Batavia dibetulkan arah kiblatnya. Menurut perhitungannya,  kiblat masjid-masjid di Jembatan Lima (Masjid Kampung Sawah/Masjid Al-Mansur) dan Pekojan, tidak diarahkan secara benar menuju Ka’bah dan karenanya harus dirubah. Kontroversipun bermunculan di kalangan para pemimpin muslim di Batavia sehingga gubernur jenderal Belanda memanggil Muhammad Arsyad untuk mengklarifikasi masalah itu. Muhammad Arsyad menjelaskan perhitungan secara matematis sehingga membuat gubernur terkesan dan memberikan hadiah kepadanya. Di kemudian hari, pembetulan arah kiblat itu juga diusulkan Abdurahman Al-Batawi di Palembang ketika dia mengadakan perjalanan ke sana sekitar tahun 1800 yang juga menimbulkan kontroversi di sana.
            Ulama-ulama Betawi pada abad ke 19 pasca Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi adalah Syaikh Junaedi Al-Batawi. Menurut C. Snouck Hurgronje, di Makkah pada perempatan ketiga abad ke 19 ada “sesepuh” (nestor) para profesor Jawi yang berasal dari Betawi yang bernama Junaed yang sudah menetap selama 50 tahun. Ketika berkunjung ke Makkah—menurut Hurgronje—ia telah melakukan kajian-kajian mendalam di negeri asalnya tetapi tidak pernah kembali ke negerinya. Jika Junaed sudah tiba di Makkah 50 tahun yang lalu, maka berarti ia sudah tiba di Makkah di awal abad ke 19 M. Junaed memiliki banyak murid di antaranya adalah KH. Mujtaba bin Ahmad atau dikenal dengan Guru Mujtaba. Jika Guru Mujtaba akhirnya kembali ke Betawi pada 1904, Syaikh Junaed Al-Batawi tetap tinggal di sana. Khabarnya Junaed meninggal dunia di tanah suci akhir abad ke 19. Kendati tidak diketahui tanggal yang pasti mengenai wafatnya, Junaed telah mendidik murid-muridnya asal Betawi menjadi ulama-ulama besar. Sayang sekali sampai sekarang tidak diketahui di mana anak dan keturunan Junaed berada sekarang.
            Ulama Betawi berikutnya adalah Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya (1822-1914). Ayahnya adalah Sayyid Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Aminah binti Syaikh Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi.
            Sayyid Usman pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji kemudian belajar di sana selama 7 tahun. Dia belajar kepada ayahnya dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Makkah. Pada tahun 1848 Sayyid Usman berangkat ke Hadramaut dan menimba ilmu kepada Syaikh Abdullah bin Husein bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri dan Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahar. Untuk memperdalam bermacam-macam ilmu, dia belajar juga ke Mesir, Tunis, Al Jazair, Istambul, Persia dan Syiria.
            Di antara karya Sayyid Usman yang terpenting adalah Tawdih al-Adillat ‘ala Syurûth Syuhud al-Ahillat. Latar belakang kitab ini adalah karena pada tahun 1882 umat Islam di Jakarta terbagi dua dalam menentukan awal puasa Ramadhan. Sebagian mulai puasa Ramadhan pada hari Minggu dan sebagian mulai puasa pada hari Senin. Banyak karya-karya Sayyid Usman yang masih dibaca oleh masyarakat Betawi, di antaranya adalah Sifat Dua Puluh. Karena keilmuan Sayyid Usman yang memadai maka diangkatlah dia menjadi mufti Betawi oleh pemerintahan Hindia Belanda.
            Di antara murid Sayyid Usman adalah KH Abdul Muhgni Kuningan atau biasa dipanggil Guru Mugni (1860-1935). Guru Mugni terhitung ulama yang paling terkemuka di wilayah Selatan. Dalam usia 16 tahun, ia dikirim ayahnya menuntut ilmu di Makkah dan bermukim di sana selama 9 tahun. Di sana Guru Mugni berguru kepada banyak ulama, antara lain Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid Al-Hadrami, Syaikh Sa’id Al-Yamani, Syaikh Ali Al-Maliki, Syaikh Abdul Karim Al-Dagestani, Syaikh Mahfud At-Tremasi dan Syaikh Muhammad Umar Syatha.
            Selama di tanah suci, ia berteman dengan sejumlah orang Betawi yang kelak menjadi ulama Besar, seperti KH. Marzuqi (Guru Marzuqi) yang telah menerima ijazah tarekat Al-Alawiyah dari Muhammad Umar Syatha. Guru Mughni memiliki banyak murid yang telah menjadi ulama besar, di antaranya adalah Guru Abdul Rahman Pondok Pinang, KH. Mughni Lenteng Agung, Guru Naim Cipete, KH Hamim dan KH Raisin Cipete, Guru Ilyas Karet dan Guru Ismail Pedurenan (dipanggil Guru Mael, mertua KH Ahmad Junaidi Menteng Atas.)
            Ulama Betawi terkemuka lainnya adalah Habib Ali Abdurrahman Al-Habsy (1869-1968). Habib Ali ditinggal wafat ayahnya, Habib Abdurrahman ketika ia berusia 12 tahun. Ayahnya berwasiat kepada istrinya, Nyai Salmah—seorang putri Betawi asli yang berasal dari Mester Pulo (Jatinegara sekarang)—agar Habib Ali dikirim belajar ke Hadramaut dan Makkah. Habib Ali akhirnya diberangkatkan ke Hadramaut ketika umurnya masih 12 tahun. Di Hadramaut Habib Ali berguru kepada Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, Habib Abdurahman bin Muhammad Al-Masyhur dan lain sebagainya. Setelah kembali dari Hadramaut dan Makkah, Habib Ali kembali ke Indonesia dan menetap di Jakarta bersama ibunya, Nyai Salmah.
            Sejak masih berusia 20-an tahun Habib Ali mendirikan majelis taklim. Sebelum di Kwitang, majelisnya berlangsung di Tanah Abang. Ia kemudian mendirikan Masjid Al-Riyadh di Kwitang dan di dekatnya didirikan Madarasah ‘Unwanul Falah’.
            Banyak ulama Betawi yang merupakan murid dari Habib Ali dan dididik di Madrasah ‘Unwanul Falah yang menerapkan sistem pendidikan modern. Di antara muridnya yang sangat tekun mengikuti dan menjadi pembicara di majelisnya adalah adalah KH Abdullah Syafi’i (1910-1985), KH. Fathullah Harun (1913-1989) dan KH Tohir Rohili (1920-1999). Habib Ali pun mempersaudarakan mereka bertiga dengan putranya, Habib Muhammad Al-Habsyi. Dari KH. Abdullah Syafi’i dan KH. Tohir Rohili berdiri dan berkembang pesat majelis taklim As-Syafi’iyah dan At-Tahiriyah. Sedangkan KH. Fathullah Harun menjadi ulama Betawi ternama di Malaysia.
            Hubungan antara Habib Ali dengan murid-muridnya cukup menarik dan romantis. Pada saat pemilu 1955, Habib Ali kendati tidak memperlihatkan berpihak pada salah satu partai dan tidak pernah mengemukakan pilihannya pada orang lain tetapi ia lebih dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Ketika NU mengadakan Muktamar di Gedung Olahraga Lapangan Ikada (Monas) Jakarta, Habib Ali diminta membaca doa. Ia juga banyak memiliki murid-murid orang-orang NU, termasuk Ketua Umumnya saat itu, KH Idham Khalid yang kerapkali datang ke masjidnya.
Murid-murid Habib Ali yang lain KH. Ahmad Thabrani Paseban (1901-1985), KH. Abdul Hadi Pisangan (1909-1998), KH. Muhammad Na'im Cipete (1912-1973), KH. Muhammad Sasi Cililitan (w. 1992), KH. Zayadi Muhajir (1918-1994), KH. Muhajirin (1921-2003), KH. Abdul Rasyid Ramli (1922-2006), KH. Rahmatullah Shidiq (1923-1979), KH. Syafi’i Hadzami (1931-2006), KH. Nahrawi Abdul Salam (1931-1999), KH. Abdurrazaq Makmun, KH. Ismail dan lain sebagainya.
Ulama Betawi dari wilayah Timur yang paling berpengaruh adalah KH Ahmad Marzuqi yang akrab dipanggil Guru Marzuqi (1293-1352 H/1876-1934 M). Ayahnya bernama Ahmad Mirshad adalah keturunan keempat dari Sultan Laksana Melayang, salah seorang Pangeran dari kesultanan Melayu Pattani di Muangthai Selatan. Ketika berusia 16 tahun, Marzuqi berangkat ke Makkah dan menetap di sana selama tujuh tahun. Di Makkah ia menimba ilmu kepada ulama terkemuka seperti Syaikh Ali al-Maliki, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Umar Sumbawa, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabau, Syaikh Mahfud At-Tremasi dan banyak lagi. Guru Marzuqi di Makkah juga mendalami tasawuf dan memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat al-Alawiyah dari Syaikh Muhammad Umar Syatha yang memperoleh silsilah tarekatnya dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan.
            Setelah kembali ke Betawi, ia diminta oleh Sayid Usman Banahsan untuk mengajar di masjid Rawabangke (Rawa Bunga) selama lima tahun kemudian pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah Guru Marzuqi merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Di antara para murid-muridnya yang kelak menjadi ulama besar adalah KH Abdul Jalil Tambun, KH. Muhammad Amin Kalibata (1901-1965), KH. Muhammad Tambih Bekasi (1907-1977), KH. Abdul Hadi Pisangan (1909-1998), KH Muhtar Thabrani Kaliabang Bekasi (1912-1971), KH. Muhammad Na’im Cipete (1912-1973)), KH Abdullah Syafi’i Kampung Bali Matraman, KH Nur Ali Bekasi (1913-1992) dan  KH Aspas Cilincing. Di antara putera Guru Marzuqi yang melajutkan perjuangannya adalah KH Abdul Malik (Guru Malik), KH Muhammad Baqir Rawabangke, KH Abdul Mu’thi Buaran Bekasi dan KH Abdul Ghofur Jatibening Bekasi.
            Dari pusat kota Jakarta tepatnya di Kampung Sawah Jembatan Lima muncul ulama Betawi terkemuka yang bernama KH. Muhammad Mansur atau akrab dipanggil Guru Mansur (1878-1967). Ia dan Guru Mughni disebut oleh masyarakat Betawi sebagai “Paku Jakarta”  Hal ini membuktikan bahwa keulamaan dan ketokohan mereka tidak diragukan lagi.
            Guru Mansur lahir pada tahun 1878 di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta Barat yang dahulu masih termasuk kawasan hunian orang-orang asal Kepulauan Banda. Ayahnya bernama KH Abdul Hamid bin Damiri bin Imam Habib bin Abdul Muhit bin Pangeran Tjakra Jaya (Tumenggung Mataram). Abdul Muhit adalah orang alim yang membangun Masjid Kuno di Kampung Sawah pada tahun 1717 M (sekarang bernama Masjid Al-Mansur). Guru Mansur merupakan keponakan dari Syaikh Junaid Al- Batawi karena KH. Abdul Hamid, ayah Guru Mansur adalah adik kandung Syaikh Junaid Al-Batawi. Guru Mansur pertama kali belajar agama kepada ayahnya dan sesudah ayahnya meninggal, ia belajar dari kakak kandungnya KH Mahbub bin Abdul Hamid dan kakak misannya yang bernama KH Thabrani bin Abdul Mugni. Selain kepada mereka, Guru Mansur juga pernah belajar kepada seorang ulama dari Meester Cornelis (Jatinegara) bernama H. Mujtaba bin Ahmad. Di Makkah ia juga memperdalam ilmunya dengan Tuan Guru Umar Sumbawa yang kelak mengangkatnya sebagai Katib (sekretaris) karena tertarik pada tulisan Guru Mansur yang rapi.
            Setelah menimba ilmu di Makkah selama empat tahun, Guru Mansur kembali ke tanah air melalui beberapa negara yang disinggahinya, seperti Aden, Benggala, Kalkuta, Burma, India, Malaya dan Singapura. Setelah sampai di tanah air, Guru Mansur membantu ayahnya mengajar di madrasah Kampung Sawah (sekarang Chairiyah Mansuriyah). Mulai tahun 1907, ia mengajar di Jamiatul Khair bersama dengan tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Ahmad Surkati dan KH Ahmad Dahlan.
            Rasa nasionalisme Guru Mansur tidak diragukan lagi. Hal ini terbukti ketika Jakarta berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda pada tahun 1948, Guru Mansur terpaksa harus berurusan dengan Hoofd Bureau Kepolisian Gambir karena ulahnya yang memasang bendera merah putih di menara Masjid Kampung Sawah. Kendati Guru Mansur berada di bawah ancaman senjata Nica, ia tetap mempertahankan bendera merah putih tetap berkibar di menara mesjid itu. Guru Mansur pun berujar “Islam tidak mau ditindas, saya enggak mau ngelonin kebatilan”
            Selama hidupnya, Guru Mansur telah menghasilkan beberapa karya ilmiah, di antaranya Sullamun nairain, Khulâsatul jadawil, Kaifiyatul amal ijtima, khusûf wal kusûf dan lain sebagainnya. Di antara murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama adalah KH. Muhammad Amin Kalibata (1901-1965), KH. Muhammad Radjiun Kebon Sirih (1916-1982) yang pernah menjadi ketua Masjid Pekojan dan KH Muhammad yang mendalami ilmu Falaq dan kemudian diangkat menantu dan meneruskan usaha mertuanya mengembangkan Madrasah Al-Mansuriyyah (yang masih berdiri hingga kini). Ahli falaq lain didikannya yang cukup berhasil adalah KH Muhajirin Amsar Ad-Dary (1921-2003), Pimpinan Perguruan Islam An-Nida, Bekasi.
                        Masih banyak para ulama Betawi yang memiliki jaringan ulama ke Makkah, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti KH. Mahmud Ramli Menteng (1866-1959), KH. Ahmad Kholid Gondangdia (1874-1946), KH. Abdul Madjid Pekojan (1887-1947), KH. Najihun (1897-1984), KH. Muhammad Amin (1901-1965), KH. Ahmad Thabrani (1901-1985), KH. Muhammad Tambih (1907-1977), KH. Ali Alhamidi (1909-1985), KH. Abdul Hadi (1909-1998), KH. Abdullah Syafi’i (1910-1985), KH. Muchtar Thabrani (1912-1971), KH. Muhammad Na'im (1912-1973), KH. Nur Ali Bekasi (1913-1992), KH. Hasbiyallah (1913-1982), KH. Muhammad Sasi Cililitan (w. 1992), KH. Fathullah Harun (1913-1989), KH. Mursyidi Klender (1915-2003), KH. Muhammad Radjiun (1916-1982), KH. Zayadi Muhajir Klender (1918-1994), KH. Thohir Rohili Bukit Duri (1920-1999), KH. Muhadjirin Amsar Ad-Dary (1921-2003), KH. Abdul Rasyid Ramli (1922-2006), KH. Abdul Hannan Sa’id (1923-2000), KH. Rahmatullah Shidiq (1923-1979), KH. Syafi’i Hadzami (1931-2006) dan Dr. KH. Ahmad Nahrawi Abdul Salam Al-Indunisi (1931-1999) yang akan diuraikan biografinya dalam bab tersendiri di buku ini
            Ulama-ulama Betawi yang disebutkan di atas adalah ulama terkemuka dari Betawi yang pernah menetap dan menuntut ilmu di Timur Tengah terutama di Makkah dan Madinah pada abad ke 19 dan 20 atau berguru kepada Ulama Betawi yang pernah menuntut ilmu di Timur Tengah sehingga pantas diperkirakan bahwa ada jaringan ulama Betawi yang meneruskan pembaharuan keagamaan ulama Timur Tengah dengan kitab-kitab karya mereka. Kitab-kitab kuning yang dikarang oleh ulama Betawi atau yang diajarkan oleh ulama Betawi kepada para murid-muridnya mencerminkan bagaimana ulama Betawi berhubungan dengan tradisi ulama Timur Tengah. Muatan muatan kitab kuning tersebut mengkaitkan pada tradisi ortodoks (klasik) universal yaitu aqidah Al-Asy’ari, fiqih As-Syafi’i dan tasawuf Al-Ghazali.
            Fenomena ulama Betawi yang belajar di Timur Tengah pada abad ke-19 dan ke-20 membuktikan bahwa teori Azra dan Martin van Bruinessen tentang adanya hubungan ulama Makkah dan Nusantara juga terjadi di Betawi. Sehingga dirasa penting melakukan penelitian untuk menggungkapkan jaringan ulama Betawi yang belajar di Makkah serta bagaimana subtansi pengajaran pembaharuan yang disebarkan pada abad ke-19 dan ke-20.

Minggu, 13 Februari 2011

SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA DAN GERAKAN ISLAM INDONESIA



MASUKNYA ISLAM KE SUMATERA

            Berbicara sejarah masuknya Islam ke Indonesia masih kontroversi di kalangan sejarawan. Para sarjana Barat berpendapat bahwa masuknya agama Islam ke Indonesia sekitar abad ke XII dan XIII. Hal yang menguatkan pendapat sarjana Barat tersebut adalah perjalanan Marco Polo yang pernah singgah di pantai Sumatera Utara dan menyaksikan bahwa di sana sudah ada yang memeluk agama Islam (tahun 1292), walaupun Prof. Snouck Hurgronye mengemukakan bahwa jauh sebelum itu Islam sudah masuk ke Indonesia.
            Tidak mudah untuk menetapkan kapan dan bagaimana proses peng-Islaman dan masuknya Islam ke Sumatera Utara dan pesisir Utara pulau Jawa. Hingga pada tahun 1963 tesis para sarjana Barat mulai dipertanyakan, terlebih lagi J.C. van Leur berasumsi bahwa sarjana Barat itu menyaksikan Indonesia yang luas hanya dari geladak kapal, dari balik tembok benteng atau dari teras halaman kantor dagang mereka. Ia memperkirakan bahwa sejak 674 M sudah ada koloni-koloni Arab di barat laut Sumatera, yaitu di Barus, daerah penghasil kapur barus terkenal. Berangkat dari situ, pada tahun yang sama di Medan diadakan Seminar Masuknya Islam ke Indonesa dan menetapkan bahwa masuknya Islam ke Indonesia sudah semenjak abad ke VII dan VIII. Daerah yang pertama dimasuki adalah daerah pesisir Sumatera Utara dan raja Islam yang pertama berada di Aceh. Ketetapan itu diperkuat lagi dalam Seminar Masuk dan Perkembangan Islam di Aceh yang dilaksanakan oleh MUI Aceh pada tanggal 10-16 Juli 1978. Salah satu ketetapan dari seminar itu adalah : Pertama, Pada abad pertama Hijriyah Islam sudah masuk di Aceh. Kedua, Kerajaan-kerajaan Islam yang pertama adalah Perlak, Lamuri dan Pasai. Ketiga. Perkembangan agama Islam bertambah pesat pada masa kerajaan Pasai sehingga menjadi pusat studi Agama Islam di kawasan Asia Tenggara.
            Seminar di Medan dan di Aceh pun menyepakati bahwa kerajaan Peureulak (Perlak) yang dipimpin oleh Sayid Maulana Aziz Syah merupakan kerajaan Islam yang pertama di kawasan Asia Tenggara dan ia memerintah pada tahun 840-864 M. Bukti lain adalah terdapat dari catatan sejarah Dinasti Tang (abad ke-9-10) di Cina yang menyebut bahwa kerajaan Holing yang diperintah oleh Ratu Sima akan diserang oleh kerajaan Ta-Shih. Oleh sarjana sejarah nama kerajaan Ta-Shi itu diartikan dengan satu kerajaan yang berada di Aceh. Hal itu merupakan bukti kongkrit bahwa masuknya Islam ke Indonesia jauh sebelum tahun 840 M bahkan dapat dipastikan pada abad ke I Hijriyah atau abad ke VII. Jika demikian hubungan antara Aceh dengan dunia Islam sudah terjalin pada sekitar abad pertama Hijriyah. Fase selanjutnya ketika beberapa ulama dari pemerintahan Daulah Abbasiyah mengunjungi daratan Aceh dan dapat diduga atas dorongan merekalah dibentuklah kerajaan Perlak pada tahun 840 M kemudian Samudera Pasai (1042 M) dan kerajaan Islam Aceh (1025 M).

MASUKNYA ISLAM KE JAWA

            Sebenarnya, jauh sebelum wali songo menyiarkan agama Islam secara aktif di daratan Jawa sudah ada beberapa orang yang memeluk agama Islam, khususnya di Pantai Utara, hanya saja jumlahnya masih sedikit. Di daerah Leran Gresik Jawa Timur terdapat satu batu nisan yang bertuliskan bahasa Arab dan bertuliskan bahwa yang meninggal adalah Fatimah binti Maimun bin Habatallah pada tahun 475 H atau 1082 M. Fakta itu menunjukkan bahwa pada sekitar abad ke XI sudah banyak para pedagang Arab melakukan perlawatannya sampai ke Pulau Jawa dengan maksud berdagang, termasuk di pusat kekuasaan Hindu Jawa ketika itu, Majapahit. Dari situ dikenal adat istiadat serta kebudayaan bangsa Arab dan agama Islam yang dianutnya.
            Proses Islamisasi di Jawa pada abad ke XI dan XII masih langka, akan tetapi pada akhir abad ke XIII terutama ketika Majapahit mencapai puncak kekuasaanya, proses Islamisasi kian meluas dengan ditemukannya puluhan nisan kubur di Troloyo, Trowulan dan Gresik. Begitupun pada tahun 1416 M. Dasarnya dari keterangan seorang Islam Cina yang bernama Ma Huan, melalui juru bahasanya Ceng Ho menerangkan bahwa pada tahun itu banyak orang yang datang dari Barat (Arab) kemudian mukim di Indonesia dan mempengaruhi orang-orang Tiong Hwa sehingga ada beberapa yang masuk Islam. Hal ini diperkuat dengan batu nisan kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang bertuliskan tahun wafatnya pada 882 H atau 1419 M. Tetapi yang jelas bahwa penyiaran Islam secara teratur dan sistematika yang mudah dicerna oleh orang awam dilakukan oleh para wali sanga kemudian mereka membentuk satu organisasi yang bernama Bayangkara Islam pada 1476 M di Demak Jawa Tengah.
            Uraian sejarah di atas membuktikan bahwa cikal bakal kekuasaan Islam telah dirintis pada abad 1-5 H/7-8 M, tetapi semuanya tenggelam dalam hegomoni maritim Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan kerajaan Hindu Jawa seperti Singasari dan Majapahit di Jawa Timur. Ketika kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran dalam sektor politik dan ekonomi, para pedagang muslim mendapatkan keuntungan politik dan perdagangan kemudian mendukung daerah-daerah yang muncul dan mendirikan kerajaan bercorak Islam, yaitu kerajaan Samudera Pasai di pesisir timur laut Aceh. Daerah ini sudah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke 7-8 M sehingga kerajaan Samudera Pasai segera berkembang baik dalam bidang politik maupun perdagangan. Begitu pula perkembangan Islam di Jawa mulai memuncak ketika melemahnya posisi kerajaan Majapahit, terlebih ketika Gajah Mada meninggal dunia (1364 M) dan disusul Hayam Wuruk  (1389). Hal ini memberikan peluang kepada raja-raja Islam pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan independen. Di bawah pimpinan Sunan Ampel, Wali sanga sepakat mengangkat Raden Fatah menjadi raja pertama kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa dan berhasil menggantikan Majapahit sebagai kraton pusat.

PROSES ISLAMISASI DI INDONESIA

            Proses islamisasi tidak berhenti sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam tetapi terus berlangsung secara intensif dengan berbagai cara dan saluran. Di antaranya adalah :
            Pertama. Saluran perdagangan merupakan permulaan proses islamisasi di Indonesia. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke 7 hingga 16 membuat pedagang muslim (Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari newgeri bagian barat, tenggara dan timur benua Asia.
            Kedua. Saluran perkawinan. Para pedagang muslim secara ekonomi memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi sehingga penduduk pribumi, terutama puteri bangsawan tertarik menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum kawin, mereka diislamkan terlebih dahulu. Hal serupa terjadi pada Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan puteri Kawunganten, Brawijaya dengan puteri Campa yang menurunkan Raden Fatah, raja pertama Demak. Dll.
            Ketiga. Saluran politik. Di Maluku dan Sulawesi Selatan, mayoritas rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Politik raja mempunyai implikasi terhadap tersebarnya Islam di sana. Begitu pula kerajaan di Sumatera, Jawa dan Indonesia bagian Timur, demi kepentingan politik memerangi kerajaan non muslim. Kemenangan kerajaan Islam menyedot rakyat yang belum Islam untuk masuk Islam. 
            Keempat. Saluran kesenian. Metodelogi ini dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan pertunjukan wayang yang sebagian ceritanya diambil dari cerita Mahabharata dan Ramayana, hanya saja disisipin nilai-nilai Islam.

GERAKAN ISLAM DALAM RENTANG SEJARAH

            Tak dapat dipungkiri, kemunduran progresif Kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam setelah abad ke 17 telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran imperium itu. Salah satunya adalah gerakan Wahabi, sebuah gerakan reformis puritanis (salafiyah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaharuan Islam abad ke 20 yang lebih bersifat intelektual. Katalisator terkenal gerakan pembaharuan ini adalah Jamaluddin al-Afghani (1897) yang menggulirkan wacana solidaritas Pan Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa dengan kembali kepada Islam dalam suasana ilmiah yang dimodernisasi.
            Gerakan Timur Tengah ini berimplikasi besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Awal abad ke 20 merupakan momentum awal pergerakan Islam di Indonesia. Pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam bermula di Minangkabau dan disusul oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang dengan terbentuknya organisasi-organisasi sosial keagamaan, seperti Jamiat Khair di Jakarta (1905), Sarikat Dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Persyarikatan Ulama di Majalengka (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920-an), Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya (1926), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Candung Bukittinggi (1930), dan organisasi politik seperti Sarekat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang Panjang (1932) dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938 dan lain-lain.
            Berbagai faktor—baik internal maupun eksternal—memiliki peran yang cukup signifikan terhadap pembentukan organisasi-organisasi tersebut di atas. Jamiat Khair didirikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat muslim, khususnya Arab, karena anak-anak mereka kurang diberi kesempatan untuk memasuki sekolah pemerintah Belanda dan sangat kecilnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan. Muhammadiyah merasa tertantang oleh kehadiran missi Kristen dalam lingkungannya. Muhammadiyah mengakui keberhasilan misi tersebut dalam memperoleh pengikut dan berusaha menghentikan perkembangan hasil missi ini dengan mencontoh cara-cara kegiatan mereka. Maka digulirkanlah pekerjaan-pekerjaan sosial dan gerakan kepanduan. Sementara berdirinya Nahdlatul Ulama merupakan reaksi atas faham Wahabi di Arab yang mendapat dukungan dari raja Saudi Arabia, Ibnu Sa’ud. Faham Wahabi tersebut dikhawatirkan berimbas ke Indonesia yang berfaham Ahli Sunnah Wal Jama’ah.   
            Meskipun dengan latar belakang yang berbeda, organisasi sosial keagamaan tersebut menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern. Nasionalisme dalam pengertian politik baru muncul setelah H. Samanhudi menyerahkan tampuk pimpinan SDI pada bulan Mei 1912 kepada HOS Tjokroaminoto yang mengubah nama dan sifat organisasi serta memperluas ruang geraknya. Wacana nasionalisme sengaja digulirkan untuk menggugah anggota organisasi memerangi penindasan kolonial Belanda. Kendati demikian, para anggotanya saling berhadapan sebagai dua belah pihak yang kerapkali bertentangan. Dalam sejarahnya, tokoh-tokoh organisasi pergerakan mulai terjadi perbedaan taktik dan program, golongan revolusioner berhadapan dengan moderat, politik koperasi tidak sejalan dengan non koperasi.      
            Perbedaan ideologi juga mewarnai pertentangan dan perpecahan organisasi gerakan Islam, perpecahan ini juga dipengaruhi oleh back ground budaya masyarakat, terutama Jawa. Proses islamisasi damai di Indonesia yang mengkompromikan ajaran Islam dengan nilai-nilai budaya telah melahirkan tiga golongan yaitu tradisionalis, modernis dan fundamentalis. Lahirnya tiga golongan tersebut merupakan reaksi dari golongan sebelumnya. Islam modernis timbul sebagai respon terhadap berbagai keterbelakangan yang dialami ummat Islam, seperti keterbelakangan dalam bidang ekonomi, pendidikan, kebudayaan, politik dan sebagainya. Kalangan modernis berasumsi bahwa kelompok tradisionalis hanya berkutat pada persoalan ibadah saja sehingga mengakibatkan umat Islam tertinggal dalam berbagai sektor. Kalangan modernis tidak alergi terhadap perubahan dan kerapkali mengadopsi pemikiran dan budaya Barat. Hal ini menimbulkan reaksi lagi dengan lahirnya kelompok fundamentalis, mereka berasumsi bahwa modernisme yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara elastis dan fleksibel untuk menyesuaikan dengan berbagai kemajuan di zaman modern akhirnya justru membawa agama ke posisi marginal. Kaum fundamentalis menuduh kaum modernis sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap terjadinya proses sekularisme secara besar-besaran, di mana peranan agama akhirnya semakin terkesampingkan dan digantikan oleh peranan dan sains modern.
            Perbedaan ideologi tersebut acapkali bemuatan politis sehingga banyaknya partai dengan ideologi yang beraneka ragam pada pemilu tahun 1955 dan 1999. Pada masa kini pun, bermunculannya organisasi Islam, seperti FPI, HTI, Laskar Jihad dan sebagainya merupakan bukti konkrit bahwa masih kerasnya pertarungan dan pergumulan ideologi di Indonesia. (hs).


Email/Facebook/Twitter :
ahfadlihs@yahoo.com

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufiq (Ed). Sejarah Umat Islam Indonesia, MUI, Jakarta, 1992.
Machfoedz, Maksoem. Kebangkitan Ulama Dan Bangkitnya Ulama, Kesatuan Umat, Surabaya, 1982.
Nata, Abuddin. Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2001.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3S, Jakarta, 1996.
Saridjo, Marwan. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Dharma Bakti, Jakarta, 1980.
Tjandrasasmita, Uka (Ed). Sejarah Nasional Indonesia III, Balai Pustaka, Jakarta, 1984.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 2000.


Disampaikan dalam Masa Penerimaan Anggota Baru Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (MAPABA PMII) Komisariat Se-Jakarta Timur, 24-26 Desember 2010 di Ciloto Jawa Barat.