Minggu, 13 Februari 2011

SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA DAN GERAKAN ISLAM INDONESIA



MASUKNYA ISLAM KE SUMATERA

            Berbicara sejarah masuknya Islam ke Indonesia masih kontroversi di kalangan sejarawan. Para sarjana Barat berpendapat bahwa masuknya agama Islam ke Indonesia sekitar abad ke XII dan XIII. Hal yang menguatkan pendapat sarjana Barat tersebut adalah perjalanan Marco Polo yang pernah singgah di pantai Sumatera Utara dan menyaksikan bahwa di sana sudah ada yang memeluk agama Islam (tahun 1292), walaupun Prof. Snouck Hurgronye mengemukakan bahwa jauh sebelum itu Islam sudah masuk ke Indonesia.
            Tidak mudah untuk menetapkan kapan dan bagaimana proses peng-Islaman dan masuknya Islam ke Sumatera Utara dan pesisir Utara pulau Jawa. Hingga pada tahun 1963 tesis para sarjana Barat mulai dipertanyakan, terlebih lagi J.C. van Leur berasumsi bahwa sarjana Barat itu menyaksikan Indonesia yang luas hanya dari geladak kapal, dari balik tembok benteng atau dari teras halaman kantor dagang mereka. Ia memperkirakan bahwa sejak 674 M sudah ada koloni-koloni Arab di barat laut Sumatera, yaitu di Barus, daerah penghasil kapur barus terkenal. Berangkat dari situ, pada tahun yang sama di Medan diadakan Seminar Masuknya Islam ke Indonesa dan menetapkan bahwa masuknya Islam ke Indonesia sudah semenjak abad ke VII dan VIII. Daerah yang pertama dimasuki adalah daerah pesisir Sumatera Utara dan raja Islam yang pertama berada di Aceh. Ketetapan itu diperkuat lagi dalam Seminar Masuk dan Perkembangan Islam di Aceh yang dilaksanakan oleh MUI Aceh pada tanggal 10-16 Juli 1978. Salah satu ketetapan dari seminar itu adalah : Pertama, Pada abad pertama Hijriyah Islam sudah masuk di Aceh. Kedua, Kerajaan-kerajaan Islam yang pertama adalah Perlak, Lamuri dan Pasai. Ketiga. Perkembangan agama Islam bertambah pesat pada masa kerajaan Pasai sehingga menjadi pusat studi Agama Islam di kawasan Asia Tenggara.
            Seminar di Medan dan di Aceh pun menyepakati bahwa kerajaan Peureulak (Perlak) yang dipimpin oleh Sayid Maulana Aziz Syah merupakan kerajaan Islam yang pertama di kawasan Asia Tenggara dan ia memerintah pada tahun 840-864 M. Bukti lain adalah terdapat dari catatan sejarah Dinasti Tang (abad ke-9-10) di Cina yang menyebut bahwa kerajaan Holing yang diperintah oleh Ratu Sima akan diserang oleh kerajaan Ta-Shih. Oleh sarjana sejarah nama kerajaan Ta-Shi itu diartikan dengan satu kerajaan yang berada di Aceh. Hal itu merupakan bukti kongkrit bahwa masuknya Islam ke Indonesia jauh sebelum tahun 840 M bahkan dapat dipastikan pada abad ke I Hijriyah atau abad ke VII. Jika demikian hubungan antara Aceh dengan dunia Islam sudah terjalin pada sekitar abad pertama Hijriyah. Fase selanjutnya ketika beberapa ulama dari pemerintahan Daulah Abbasiyah mengunjungi daratan Aceh dan dapat diduga atas dorongan merekalah dibentuklah kerajaan Perlak pada tahun 840 M kemudian Samudera Pasai (1042 M) dan kerajaan Islam Aceh (1025 M).

MASUKNYA ISLAM KE JAWA

            Sebenarnya, jauh sebelum wali songo menyiarkan agama Islam secara aktif di daratan Jawa sudah ada beberapa orang yang memeluk agama Islam, khususnya di Pantai Utara, hanya saja jumlahnya masih sedikit. Di daerah Leran Gresik Jawa Timur terdapat satu batu nisan yang bertuliskan bahasa Arab dan bertuliskan bahwa yang meninggal adalah Fatimah binti Maimun bin Habatallah pada tahun 475 H atau 1082 M. Fakta itu menunjukkan bahwa pada sekitar abad ke XI sudah banyak para pedagang Arab melakukan perlawatannya sampai ke Pulau Jawa dengan maksud berdagang, termasuk di pusat kekuasaan Hindu Jawa ketika itu, Majapahit. Dari situ dikenal adat istiadat serta kebudayaan bangsa Arab dan agama Islam yang dianutnya.
            Proses Islamisasi di Jawa pada abad ke XI dan XII masih langka, akan tetapi pada akhir abad ke XIII terutama ketika Majapahit mencapai puncak kekuasaanya, proses Islamisasi kian meluas dengan ditemukannya puluhan nisan kubur di Troloyo, Trowulan dan Gresik. Begitupun pada tahun 1416 M. Dasarnya dari keterangan seorang Islam Cina yang bernama Ma Huan, melalui juru bahasanya Ceng Ho menerangkan bahwa pada tahun itu banyak orang yang datang dari Barat (Arab) kemudian mukim di Indonesia dan mempengaruhi orang-orang Tiong Hwa sehingga ada beberapa yang masuk Islam. Hal ini diperkuat dengan batu nisan kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik yang bertuliskan tahun wafatnya pada 882 H atau 1419 M. Tetapi yang jelas bahwa penyiaran Islam secara teratur dan sistematika yang mudah dicerna oleh orang awam dilakukan oleh para wali sanga kemudian mereka membentuk satu organisasi yang bernama Bayangkara Islam pada 1476 M di Demak Jawa Tengah.
            Uraian sejarah di atas membuktikan bahwa cikal bakal kekuasaan Islam telah dirintis pada abad 1-5 H/7-8 M, tetapi semuanya tenggelam dalam hegomoni maritim Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan kerajaan Hindu Jawa seperti Singasari dan Majapahit di Jawa Timur. Ketika kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran dalam sektor politik dan ekonomi, para pedagang muslim mendapatkan keuntungan politik dan perdagangan kemudian mendukung daerah-daerah yang muncul dan mendirikan kerajaan bercorak Islam, yaitu kerajaan Samudera Pasai di pesisir timur laut Aceh. Daerah ini sudah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke 7-8 M sehingga kerajaan Samudera Pasai segera berkembang baik dalam bidang politik maupun perdagangan. Begitu pula perkembangan Islam di Jawa mulai memuncak ketika melemahnya posisi kerajaan Majapahit, terlebih ketika Gajah Mada meninggal dunia (1364 M) dan disusul Hayam Wuruk  (1389). Hal ini memberikan peluang kepada raja-raja Islam pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan independen. Di bawah pimpinan Sunan Ampel, Wali sanga sepakat mengangkat Raden Fatah menjadi raja pertama kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa dan berhasil menggantikan Majapahit sebagai kraton pusat.

PROSES ISLAMISASI DI INDONESIA

            Proses islamisasi tidak berhenti sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam tetapi terus berlangsung secara intensif dengan berbagai cara dan saluran. Di antaranya adalah :
            Pertama. Saluran perdagangan merupakan permulaan proses islamisasi di Indonesia. Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke 7 hingga 16 membuat pedagang muslim (Arab, Persia dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari newgeri bagian barat, tenggara dan timur benua Asia.
            Kedua. Saluran perkawinan. Para pedagang muslim secara ekonomi memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi sehingga penduduk pribumi, terutama puteri bangsawan tertarik menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum kawin, mereka diislamkan terlebih dahulu. Hal serupa terjadi pada Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan puteri Kawunganten, Brawijaya dengan puteri Campa yang menurunkan Raden Fatah, raja pertama Demak. Dll.
            Ketiga. Saluran politik. Di Maluku dan Sulawesi Selatan, mayoritas rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Politik raja mempunyai implikasi terhadap tersebarnya Islam di sana. Begitu pula kerajaan di Sumatera, Jawa dan Indonesia bagian Timur, demi kepentingan politik memerangi kerajaan non muslim. Kemenangan kerajaan Islam menyedot rakyat yang belum Islam untuk masuk Islam. 
            Keempat. Saluran kesenian. Metodelogi ini dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan pertunjukan wayang yang sebagian ceritanya diambil dari cerita Mahabharata dan Ramayana, hanya saja disisipin nilai-nilai Islam.

GERAKAN ISLAM DALAM RENTANG SEJARAH

            Tak dapat dipungkiri, kemunduran progresif Kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam setelah abad ke 17 telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran imperium itu. Salah satunya adalah gerakan Wahabi, sebuah gerakan reformis puritanis (salafiyah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaharuan Islam abad ke 20 yang lebih bersifat intelektual. Katalisator terkenal gerakan pembaharuan ini adalah Jamaluddin al-Afghani (1897) yang menggulirkan wacana solidaritas Pan Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa dengan kembali kepada Islam dalam suasana ilmiah yang dimodernisasi.
            Gerakan Timur Tengah ini berimplikasi besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Awal abad ke 20 merupakan momentum awal pergerakan Islam di Indonesia. Pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam bermula di Minangkabau dan disusul oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang dengan terbentuknya organisasi-organisasi sosial keagamaan, seperti Jamiat Khair di Jakarta (1905), Sarikat Dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Persyarikatan Ulama di Majalengka (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920-an), Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya (1926), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Candung Bukittinggi (1930), dan organisasi politik seperti Sarekat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang Panjang (1932) dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938 dan lain-lain.
            Berbagai faktor—baik internal maupun eksternal—memiliki peran yang cukup signifikan terhadap pembentukan organisasi-organisasi tersebut di atas. Jamiat Khair didirikan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat muslim, khususnya Arab, karena anak-anak mereka kurang diberi kesempatan untuk memasuki sekolah pemerintah Belanda dan sangat kecilnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan. Muhammadiyah merasa tertantang oleh kehadiran missi Kristen dalam lingkungannya. Muhammadiyah mengakui keberhasilan misi tersebut dalam memperoleh pengikut dan berusaha menghentikan perkembangan hasil missi ini dengan mencontoh cara-cara kegiatan mereka. Maka digulirkanlah pekerjaan-pekerjaan sosial dan gerakan kepanduan. Sementara berdirinya Nahdlatul Ulama merupakan reaksi atas faham Wahabi di Arab yang mendapat dukungan dari raja Saudi Arabia, Ibnu Sa’ud. Faham Wahabi tersebut dikhawatirkan berimbas ke Indonesia yang berfaham Ahli Sunnah Wal Jama’ah.   
            Meskipun dengan latar belakang yang berbeda, organisasi sosial keagamaan tersebut menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern. Nasionalisme dalam pengertian politik baru muncul setelah H. Samanhudi menyerahkan tampuk pimpinan SDI pada bulan Mei 1912 kepada HOS Tjokroaminoto yang mengubah nama dan sifat organisasi serta memperluas ruang geraknya. Wacana nasionalisme sengaja digulirkan untuk menggugah anggota organisasi memerangi penindasan kolonial Belanda. Kendati demikian, para anggotanya saling berhadapan sebagai dua belah pihak yang kerapkali bertentangan. Dalam sejarahnya, tokoh-tokoh organisasi pergerakan mulai terjadi perbedaan taktik dan program, golongan revolusioner berhadapan dengan moderat, politik koperasi tidak sejalan dengan non koperasi.      
            Perbedaan ideologi juga mewarnai pertentangan dan perpecahan organisasi gerakan Islam, perpecahan ini juga dipengaruhi oleh back ground budaya masyarakat, terutama Jawa. Proses islamisasi damai di Indonesia yang mengkompromikan ajaran Islam dengan nilai-nilai budaya telah melahirkan tiga golongan yaitu tradisionalis, modernis dan fundamentalis. Lahirnya tiga golongan tersebut merupakan reaksi dari golongan sebelumnya. Islam modernis timbul sebagai respon terhadap berbagai keterbelakangan yang dialami ummat Islam, seperti keterbelakangan dalam bidang ekonomi, pendidikan, kebudayaan, politik dan sebagainya. Kalangan modernis berasumsi bahwa kelompok tradisionalis hanya berkutat pada persoalan ibadah saja sehingga mengakibatkan umat Islam tertinggal dalam berbagai sektor. Kalangan modernis tidak alergi terhadap perubahan dan kerapkali mengadopsi pemikiran dan budaya Barat. Hal ini menimbulkan reaksi lagi dengan lahirnya kelompok fundamentalis, mereka berasumsi bahwa modernisme yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara elastis dan fleksibel untuk menyesuaikan dengan berbagai kemajuan di zaman modern akhirnya justru membawa agama ke posisi marginal. Kaum fundamentalis menuduh kaum modernis sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap terjadinya proses sekularisme secara besar-besaran, di mana peranan agama akhirnya semakin terkesampingkan dan digantikan oleh peranan dan sains modern.
            Perbedaan ideologi tersebut acapkali bemuatan politis sehingga banyaknya partai dengan ideologi yang beraneka ragam pada pemilu tahun 1955 dan 1999. Pada masa kini pun, bermunculannya organisasi Islam, seperti FPI, HTI, Laskar Jihad dan sebagainya merupakan bukti konkrit bahwa masih kerasnya pertarungan dan pergumulan ideologi di Indonesia. (hs).


Email/Facebook/Twitter :
ahfadlihs@yahoo.com

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufiq (Ed). Sejarah Umat Islam Indonesia, MUI, Jakarta, 1992.
Machfoedz, Maksoem. Kebangkitan Ulama Dan Bangkitnya Ulama, Kesatuan Umat, Surabaya, 1982.
Nata, Abuddin. Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2001.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3S, Jakarta, 1996.
Saridjo, Marwan. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Dharma Bakti, Jakarta, 1980.
Tjandrasasmita, Uka (Ed). Sejarah Nasional Indonesia III, Balai Pustaka, Jakarta, 1984.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 2000.


Disampaikan dalam Masa Penerimaan Anggota Baru Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (MAPABA PMII) Komisariat Se-Jakarta Timur, 24-26 Desember 2010 di Ciloto Jawa Barat.