Sabtu, 09 Agustus 2014

AMARULAH ASBAH (BANG UWO) ; POLITISI BETAWI DAN NU


Bang Uwo ; Jangan Anti Partai Politik

          Saya awalnya mendengar nama Amarullah Asbah atau biasa dipanggil Bang Uwo setelah Pemilihan Gubernur dan Wagub DKI Jakarta periode 2002-2007. Saat itu saya bersama teman-teman FKMB (Forum Komunikasi Mahasiswa Betawi) melakukan aksi unjuk rasa menolak dicalonkannya Sutiyoso sebagai Gubernur DKI Jakarta dan mendesak partai partai untuk mencalonkan tokoh Betawi sebagai Gubernur DKI Jakarta.
          Pada akhirnya, Rabu 11 September 2002 melalui rapat paripurna DPRD DKI Sutiyoso dan Fauzi Bowo terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI dengan meraih 47 suara dari 85 anggota DPRD yang mengikuti rapat pemilihan. Para demontran—termasuk FKMB—kecewa dengan hasil pemilihan tersebut dan berujung dengan bentrokan dengan aparat kepolisian.
          Malam harinya, saya dan teman-teman FKMB (ada Boim. Erwin, Anwar, Yusup Cupeng dkk) berkumpul di Kenari untuk melakukan evaluasi dan refleksi atas hasil pemilihan tersebut. Di antara teman-teman ada yang kecewa kepada partai politik dan anggota DPRD yang tidak aspiratif. Bahkan ada teman teman yang anti Partai Politik.
          Kekecewaan generasi muda Betawi ternyata juga diamati oleh Bang Uwo yang saat itu menjadi anggota DPRD DKI dari Fraksi Golkar. Kendati saat pemilihan Partainya Bang Uwo mendukung Sutiyoso-Fauzi Bowo tetapi Bang Uwo bisa memaklumi sikap politik para generasi muda. Bang Uwo memberikan nasehat politik kepada generasi muda Betawi agar tidak anti partai politik. Anak muda Betawi harus masuk partai politik dan menjadi anggota dewan jika ingin orang Betawi menjadi gubernur Jakarta ke depan.
          Dalam beberapa kesempatan Bang Uwo kerapkali memberikan wejangan kepada generasi muda Betawi agar tidak anti kepada partai politik dan jika perlu masuk ke semua parpol yang ada. Hal ini bisa saya pahami karena bang Uwo melihat banyak kader muda Betawi yang tergabung dalam FKMB adalah aktivis mahasiswa dari PMII, HMI dan GMNI yang seringkali turun jalan mengkritisi parlemen dan pemerintah. Saya sendiri selain aktivis FKMB juga aktivis PMII yang acapkali unjuk rasa menentang bahaya laten Orde Baru dan mendukung pembubaran Partai Golkar saat itu, Partai dimana Bang Uwo bergabung.
          Melihat kader muda Betawi yang kritis Bang Uwo tidak alergi bahkan merangkul mereka karena merupakan kader muda potensial ke depan. Ia menyewa Kantor Ciks Cikini untuk dijadikan ajang kongkow-kongkow generasi muda dan aktivis Betawi. Bang Uwo mengadakan pengajian politik setiap malam Jumat yang dihadiri para aktivis muda. Tiap malam Jumat itu bang Uwo memberikan paparan tentang pentingnya peran dan kiprah generasi muda Betawi ke depan. Di Gedung Ciks inilah tempat ajang tumpah gagasan kaum intelektual muda Betawi yang difasilitasi oleh Bang Uwo.
          Dalam beberapa hal tertentu, Bang Uwo juga ikut turun gunung bersama anak muda Betawi seperti ketika mengajukan protes keras kepada Menpora Adhyaksa Dault pada bulan November 2006. Saat itu puluhan aktivis dan tokoh Betawi keberatan pada teks sambutan Adhyaksa dalam peringtaan Hari Sumpah Pemuda yang tidak mencantumkan peran orang Betawi. Tak ayal, teks pidato yang dibukukan dan disebarkan ke sejumlah lembaga itu memancing kemarahan orang Betawi. Menanggapi keberatan tersebut, Menpora meminta maaf dan mengatakan bahwa teks pidatonya yang dibukukan itu tidak sama dengan teks aslinya. Dengan kata lain, pidato yang ada di tangan Bang Uwo dan tokoh Betawi lainnya itu dipalsukan.
          Dalam perjalanannya, kendati sudah tidak duduk di DPRD lagi, Bang Uwo tetap “merawat” generasi muda Betawi. Ia tetap memberikan waktu khusus untuk anak muda Betawi. Ia selalu hadir dalam setiap kegiatan aktivis muda Betawi, terutama FKMB. Bang Uwo tidak hanya datang acara pengkaderan anak Betawi saja, bahkan ia kerapkali datang acara pernikahan anak muda Betawi yang dibina oleh Bang Uwo. Hampir semua anak muda Betawi yang menikah bang Uwo pasti hadir. Jarang ada tokoh Betawi seperti Bang Uwo yang tetap setia mendengar curhatan dan keluh kesah anak muda Betawi baik keluh kesah berkaitan tentang politik, organisasi hingga keluh kesah pribadi.

Bang Uwo ; NU Yang Betawi, Betawi Yang NU

          Betawi dan NU merupakan dua sisi yang sulit dipisahkan. Beberapa tradisi amalan ibadah Betawi itu sama seperti NU begitupun sebaliknya. Yang agak beda adalah tokoh Betawi belum tentu tokoh NU begitu juga sebaliknya dan aktivis Betawi belum tentu aktivis NU begitu juga sebaliknya. Tapi hal itu tidak berlaku buat bang Uwo. Ia adalah NU yang Betawi dan Betawi yang NU. Dalam suatu kesempatan Bang Uwo pernah bilang  "Ane malu kalo berbuat yang kaga bener, di pundak ane ada dua beban, pundak kanan ada NU dan di pundak kiri ada Betawi, dipotong tangan ane keluar darah NU dan Betawi"
            Bang Uwo pantas berkata demikian karena Bang Uwo merupakan Mantan Ketua PW GP Ansor DKI Jakarta satu periode dengan KH. Hasyim Muzadi yang saat bersamaan menjadi Ketua PW GP Ansor Jawa Timur. Tidak hanya itu, bang Uwo juga paham sejarah NU baik di Jakarta maupun luar Jakarta. Saya sendiri sering mendengar cerita NU dari Bang Uwo karena banyak cerita NU terutama NU Jakarta yang tidak terungkap dalam buku sejarah NU. Bang Uwo bercerita tentang peran dan kiprah H. Abdul Manaf, kakek H. Fauzi Bowo dalam mengembangkan NU di tanah Betawi. Sehingga bang Uwo anggap wajar ketika Fauzi Bowo menjadi Ketua PWNU DKI Jakarta yang dianggap meneruskan perjuangan kakeknya, H. Abdul Manaf.
            Ketika masih menjadi anggota Banser, belum menjadi Ketua Ansor DKI Jakarta, bang Uwo bercerita bahwa dia merasa bangga bisa menjadi seksi keamanan dalam setiap acara Muktamar NU. Bang Uwo bertugas mengawal kiai kiai sepuh selama di arena muktamar dan Bang Uwo merasa kagum dengan kadar kealiman para kiai NU dalam komisi bahtsul masa’ail. “Ane bawain tuh kitab kitab para kiai kalo lagi mau bahtsul masa’il, ga apa apa deh ane kaga lancar baca kitab kuning, moga aja ada berkahnye” ujar Bang Uwo suatu sore hari di Kantor Bamus Betawi.
            Di depan bang Uwo jangan coba coba mengaku aktivis NU Betawi. Bang Uwo bisa dikatakan tim verifikasi ke-NU-an orang Betawi, Pernah ada tokoh Betawi yang mengaku aktivis NU di masanya dan berharap dimasukkan menjadi Dewan Penasehat GP Ansor DKI Jakarta. Ketika hal itu saya konfirmasi kepada Bang Uwo maka dengan enteng bang Uwo bantah “Ane tuh paham siapa aja orang Betawi yang aktivis NU, jangankan dia ngomong, dia dehem aja ane udeh tau dia aktivis NU atau bukan”
            Seperti dalam bidang lain, tentang NU juga bang Uwo seperti ensiklopedi berjalan. Kalau kepada yang lain Bang Uwo bercerita hanya tentang budaya Betawi, maka kepada saya ditambah lagi tentang NU. Nampaknya Bang Uwo seperti ketemu teman ngobrol yang pas dengan saya jika cerita tentang NU. Ini wajar karena bang Uwo tahu kalau saya adalah anak muda Betawi yang santri dan alumni Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Bang Uwo juga bercerita ketika ia ikut hadir Muktamar NU ke 30 di Lirboyo Kediri tahun 1999. Tidak hanya itu bang Uwo juga mengenal peran kiprah para Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo seperti KH. Mahrus Ali, KH. Maksum Jauhari dan KH. Idris Marzuqi.

Bang Uwo ; Pilkada DKI Jakarta 2007 dan 2012  

            Dalam hajatan Pilkada DKI Jakarta peran kiprah Bang Uwo tak terbantahkan, baik dalam pilkada DKI Jakarta 2007 maupun 2012. Dalam Pilkada 2007 Bang Uwo dipercaya sebagai Ketua Tim Pemenangan Fauzi Bowo-Prijanto sementara saya menjadi Koordinator Kelurahan (Koorkel) Fauzi Bowo Center (FBC) Karang Anyar Sawah Besar Jakarta Pusat.
Dalam perhelatan politik tersebut Bang Uwo menjadikan ajang perjuangan kaum Betawi dan NU berkuasa di Jakarta. Hal ini bisa dimaklumi mengingat Fauzi Bowo adalah Mantan Ketua PWNU DKI Jakarta dan cucu dari H. Abdul Manaf, tokoh Betawi yang memiliki kontribusi besar terhadap NU di Jakarta. Dasar itulah yang membuat NU DKI Jakarta begitu solid mendukung Fauzi Bowo pada Pilkada 2007 terlebih rivalnya pada saat itu adalah Adang Darajatun dan Dani Anwar dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memiliki faham ideologi yang berbeda dengan NU.
            Ketika proses masih berlangsung hampir semua partai mendukung Fauzi Bowo-Prijanto, hanya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang belum menyatakan sikap. PKB awalnya mencalonkan Rano Karno sebagai Cagub DKI Jakarta. Suatu kesempatan Bang Uwo pernah berkata kepada saya bahwa dukungan PKB sangat berarti buat Fauzi Bowo. “Fauzi Bowo itu NU dan harus didukung oleh PKB. Kalau PKB kaga dukung Fauzi Bowo kaya pake baju kaga pake kancing, kaga enak dilihat” Dan pada akhirnya, saat detik terakhir penutupan pendaftaran calon di KPUD DKI Jakarta akhirnya PKB menyerahkan berkas dukungan kepada Fauzi Bowo-Prijanto.
            Perjuangan akhirnya berbuah manis. Berdasarkan penghitungan hasil rekapitulasi suara maka pasangan calon Fauzi Bowo-Prianto memperoleh 57,87 persen suara, sedangkan pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar memperoleh 42,13 persen. Seluruh warga Betawi dan NU bersuka cita karena akhirnya perjuangan menjadikan orang Betawi menjadi Gubernur DKI Jakarta berhasil dengan sukses.
Kendati demikian, fenomena romantis tersebut tidak terulang pada Pilkada 2012. Jika pada Pilkada 2007 NU DKI Jakarta solid mendukung Fauzi Bowo akan tetapi pada Pilkada 2012 NU terbagi dua kubu, kubu structural dan kultural. Jika kubu structural dipersepsikan mendukung Jokowi-Ahok sementara kubu kultural dipersepsikan mendukung Fauzi-Nahrowi.
Bang Uwo sudah menduga bahwa NU akan jadi kendaran politik pilkada 2012. Dengan dukungan arus bawah untuk menyelamatkan NU maka Bang Uwo didaulat untuk dimajukan sebagai calon Ketua NU DKI Jakarta. Dua kandidat yang bertarung saat itu, Bang Uwo dan Djan Farid memiliki kepentingan yang berbeda mengenai Pilkada. Jika Bang Uwo dipersepsikan sebagai tokoh yang mendukung Fauzi Bowo sementara Djan Farid sebaliknya. Kemudian pada akhirnya 4 PCNU memilih Djan Farid menjadi Ketua PWNU sementara Amarullah Asbah dipilih oleh 2 PCNU.
Menyadari bahwa Djan Farid sebagai Ketua PWNU akan membawa gerbong struktur NU DKI Jakarta untuk tidak mendukung Fauzi Bowo maka Bang Uwo membentuk FB Aswaja (Forum Bersama Warga Ahli Sunnah Wal Jama’ah) sebagai wadah berkumpulnya para tokoh dan kader NU cultural yang tetap setia mendukung Fauzi Bowo. Langkah Bang Uwo mendapat dukungan berbagai pihak yang peduli terhadap nasib NU ke depan. Salah satunya adalah saya sendiri yang lebih memilih mundur dari Wakil Sekretaris PWNU DKI Jakarta dibawah komando Djan Farid dan bergabung ke FB Aswaja dibawah komando Bang Uwo dan Sanusi Abu Bakar dan saya menjadi Ketua FBJ (Forum Bersama Jakarta) Sawah Besar sebagai wadah tim pemenangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dalam Pilkada DKI Jakarta 2012.
Sejarah manis tidak terulang, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli kalah dalam perolehan suara. Dalam rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara di tingkat provinsi oleh Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta Jokowi-Basuki meraih 2.472.130 suara atau 53,82 %. Sementara itu, pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli mengantongi 2.120.815 suara atau 46,18 % dari jumlah suara sah.
Kekalahan tersebut tentu saja menyakitkan bagi masyarakat Betawi yang gagal mempertahankan kemenangannya yang telah diraih saat Pilkada 2007 lalu. Kendati demikian, Bang Uwo tetap mengajak kepada semua komponen Betawi berlapang dada menerima hasil pahit dan harus dijadikan bahas intropeksi diri dan evaluasi.

SMS terakhir Bang Uwo.

          Minggu 11/5, saya mendapat sms dari Bang Uwo yang isinya menyampaikan keberatan bang Uwo kepada PKB--Partai tempat saya bergabung—yang akan berkoalisi dengan PDIP dan mendukung Jokowi sebagai Capres 2014. Saya pun menjawabnya agar saya diberi waktu untuk ketemu Bang Uwo membicarakan Pilpres dan Betawi ke depan. Bang Uwo menyanggupi beberapa hari ini akan kumpulkan lagi teman teman bicarakan Pilpres dan membentuk ABJ (Aliansi Betawi Jaya). Namun dua hari berselang bukan sms follow up dari Bang Uwo yang saya dapat justru sms khabar wafatnya Bang Uwo pada Selasa (13/5/2014) sore. Tentu saja khabar ini mengagetkan. Ternyata sms Minggu lalu atau dua hari sebelumnya adalah sms terakhir Bang Uwo kepada saya. Akhirnya saya memforward sms dan broadcast berita duka cita tersebut kepada teman teman. Tentu saja tidak hanya saya yang sedih dan berduka, semua masyarakat Betawi yang mengenal Bang Uwo merasa kehilangan sosok panutan yang selama ini bisa dijadikan ajang curhat, ajang keluh kesah, ajang diskusi dan lain sebagainya.
          Selasa malam di rumah saya sebelum saya ta’ziyah ke rumah duka, saya membuka buku karya saya yang berjudul Ulama Betawi. Dalam halaman terakhir saya membaca komentar singkat Bang uwo tentang buku saya sebagai berikut :

Penghargaan saya kepada adinda Ahmad Fadli HS yang telah menyusun buku ini sebagai karya intelektual. Sangat jarang anak Betawi yang terpanggil untuk menyusun buku seperti yang kita baca sekarang. Mari kita contoh keteladanan para Ulama, pemberi warna kehidupan bagi masyarakat Jakarta khususnya masyarakat Betawi. Teguh dalam beriman, berkarya mulia pada zamannya. Dari zaman ke zaman pula jasa dan pengabdian para ulama tetap dikenang.
Amarullah Asbah (Mantan Anggota DPRD DKI Jakarta & Tokoh Betawi)

Bang Uwo… Insya Allah perjuangan abang akan kami lanjutkan. Semoga amal ibadah abang diterima oleh Allah SWT…. Alfatihah……

Jakarta, Ahad 10 Agustus 2012 jam 2.40


Ahmad Fadli HS