Rabu, 01 Juni 2011

KH. ABDUL HANNAN SA’ID (1923-2000) Ulama Tajwid Dari Sawah Besar


            KH. Abdul Hannan Sa’id bin H. Sa’id bin Kasiman bin Qadim lahir di Serang Banten pada 04 April 1923. Ia memulai pendidikan formalnya di sekolah dasar pada usia 8 tahun dan selesai pada tahun 1936. Dalam bidang agama Hanan Sa’id belajar kepada KH. Tb. Sholeh Makmun di Pesantren Qur’an Lontar Serang Banten hingga khatam 30 juz selama 9 tahun.
            Di Usia 19 tahun, atau tahun 1942 ia mulai mengajar di Madrasah Al-Ihsaniyah Serang Banten. Pada tahun 1950 ia pindah ke Tambun Bekasi dan mengajar di Madrasah An-Nasyi’ah. Di Tambun Bekasi, ia menikah dengan Siti Nurjanah binti Akhir pada 15 November 1950 dan dikaruniai 5 orang putra. Pada 7 Agustus 1975 istrinya, Siti Nurjanah wafat kemudian Hannan Sa’id menikah kembali pada 12 November 1975 dengan Siti Umayyah binti H. Nalim, perempuan Betawi Kampung Baru Sukabumi Udik (Selatan) Jakarta Barat dan mendapat keturunan 3 orang putra dan 2 orang putri. Penulis adalah anak kedua dari pernikahan Hanan Sa’id dengan Siti Umayyah.
            Setahun kemudian, 1951. Hannan Sa’id pindah ke Jakarta dan mendirikan Ma’had Ta’lim Qur’an dan Kepala Madrasah Manhalun Nasyi-in di Karang Anyar Sawah Besar Jakarta Pusat di atas tanah wakaf Ahmad bin Maih. Selain pengasuh di Ma’had dan Madrasah tersebut, ia pengajar agama di beberapa tempat seperti di Corp Cacat Veteran, di perkumpulan anggota polisi Seksi III Pasar Baru, beberapa tempat di Sawah Besar Jakarta Pusat dan tempat lainnya di Jakarta hingga akhir hayatnya.
            Pada tahun 1959, ia dinyatakan lulus ujian sebagai Guru Agama dan mendapatkan status sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pada tahun 1961 ia menjadi Kepala Kantor Penerangan Agama Daerah Tingkat II Jakarta Utara kemudian diangkat sebagai Kepala Dinas Penerangan Agama Jakarta Barat pada tahun 1968 kemudian menjadi Kepala Inspeksi Penerangan Agama Jakarta Pusat pada tahun 1973 hingga pensiun pada tahun 1979.
            Pada tahun 1973. Hannan Sa’id menunaikan ibadah haji bersama istrinya, Siti Nurjanah dan sepulang dari ibadah haji kegiatan mengajarnya semakin padat. KH. Abdul Hannan Sa’id di samping seorang guru, dosen di Perguruan Tinggi Darul Hikmah Jakarta Utara,  juga aktif di LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an) DKI Jakarta sebagai seorang pembina, juri atau dewan hakim di MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) dan MHQ (Musabaqah Hifdzil Qur’an), penulis dan mubaligh. Ia bersedia hadir walau hanya untuk menjadi juri MTQ dengan peserta usia taman kanak-kanak dan remaja. Bahkan, ia pernah menjadi Ketua Dewan Hakim MTQ antar waria yang diadakan di Sasana Langen Budaya TMII Jakarta Timur pada 15 Desember 1990. Bidang dakwahnya semakin luas ketika ia diminta menjadi anggota Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an, Departemen Agama RI dari tahun 1993 sampai ia wafat pada tahun 2000.
            Semasa hidupnya, KH. Abdul Hannan Sa’id pernah menjadi ketua atau koordinator dewan hakim MTQ dan MHQ sebanyak 150 kali terhitung tahun 1953 hingga 1993. Jika ditambah dengan posisinya sebagai anggota Dewan Hakim MTQ atau MHQ baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional maka sebanyak 255 kali mulai tahun 1953 hingga 1999. Ia juga sebagai Pembina bagi Qori/Qoriah dan Hafidz/Hafidzah bagi duta DKI Jakarta untuk MTQ dan MHQ Nasional dari tahun 1962 hingga 1999.
            Dari kegiatannya mengajarkan ilmu tajwid dan qira’at al-qur’an banyak murid-murid KH. Abdul Hannan Sa’id yang kelak menjadi Qori Nasional dan Ulama terkemuka. Di antaranya, H. Muammar ZA, H. Muhajir, H. Nanang Qosim, H. Muhammad Ali, H. Muhammad Dong, H. Nafis Qurthubi, Hj. Sa’idah Ahmad, Dra. Hj. Maria Ulfah, KH. Abdurrahman Nawi (Pengasuh Pesantren Al-Awabin Depok), KH. Tajudin Hasan (Pengasuh Pesantren Darul Hasan Cipondoh Tangerang) H. Mafakhir Rawa Belong, KH. Hasan Bisri, KH. Muhammad Ali Samman (Perguruan Islam Manhalun Nasyi-in Sawah Besar), KH. Ibrahim Karim (Yayasan Hubbul Wathon Cempaka Putih/MUI DKI Jakarta), KH. Syahid (Bandung), H. Humaidi (Banten), Hj. Ery Murniasih (Kuningan Jawa Barat), Hj. Siti Sarah (Sukabumi), Hj. Tatu Mulyana (Ibu Ustadz Jefri Al-Bukhory), H. Abdul Wadud K.A, H. Syarifuudin Muhammad, dan lain sebagainya.
            Dengan ulama-ulama Betawi, KH. Abdul Hannan Sa’id memiliki kedekatan dengan KH. Abdullah Syafi’i, KH. Mursyidi, KH. Abdul Rasyid bin H. Kirom Madrasah Ar-Rusyda Klender, KH. Syafi’i Hadzami, KH. Muhammad Radjiun dan KH. Rahmatullah Shidiq. Mereka saling bersilaturahim dan bertukar pikiran tentang disiplin ilmu yang mereka kuasai masing-masing.
            Salah satu sumbangan pemikiran KH. Abdul Hannan Sa’id yang sangat penting dan menjadi kontroversi di kalangan ahli tajwid adalah penemuannya tentang qalqalah akbar. Sebagaimana diketahui bahwa qalqalah di dalam ilmu tajwid ada dua, yaitu qalqalah shugra dan qalqalah kubra. Sementara KH. Abdul Hannan Sa’id berpendapat bahwa qalqalah ada tiga dengan ditambah qalqalah akbar. Qalqalah yang lebih daripada qalqalah kubra. Qalqalah akbar misalnya dapat ditemukan pada pengucapan watabb di QS. Al Lahab.
            Semasa hidupnya, KH. Abdul Hannan Sa’id menulis 6 (enam) kitab yaitu  Taysîr al-Musykilāt fi Qirā’ah al-Âyāt, Miftâh at Tajwîd juz I dan II, al-Masâ’il at-Tajwîdiyyah Juz I dan II, pegangan khatib, risalah pegangan pelatih qori/qariah, dan al-Asytât fi al Hikâmi wa al-fawa’id wa al-Maqâlât.
            Kitab Taysîr al-Musykilāt fi Qirā’ah al-Âyāt merupakan karya masterpiece dari KH. Abdul Hannan Sa’id dan merupakan buah dari ketekunannya selama puluhan tahun karena isinya berasal dari catatan-catatan yang ditulisnya sebagai pelatih ketika para qari dan qariah serta hafidz dan hafidzah menemukan kesukaran dalam mengucapkan huruf atau ayat tertentu di dalam al-qur’an menurut riwayat Imam Hafs. Kesukaran tersebut dialami ketika mereka mengikuti tiap-tiap training centre (pemusatan pelatihan) untuk mengikuti even MTQ Nasional pada tahun 1968 hingga pada tahun 1991.
            KH. Abdul Hannan Sa’id wafat pada hari Jumat, 19 Dzulqo’dah 1420 H atau 25 Februari 2000 di kediamannya di Jl. Dwiwarna II Karang Anyar Sawah Besar Jakarta Pusat dan dimakamkan berdekatan dengan makam istrinya Hj. Siti Umayyah di Pemakaman Kampung Baru Sukabumi Udik (Selatan) Kebon Jeruk Jakarta Barat.
            Pada 03 Januari 2003, Almarhum KH. Abdul Hannan Sa’id mendapat piagam penghargaan selaku Ulama Qur’an dan Hamalatul Qur’an dari Menteri Agama RI, Prof. Dr. H. Sayyid Aqil Munawar, MA. Almarhum KH. Abdul Hannan Sa’id walaupun dilahirkan di Serang Banten tetapi mendapat tempat di kalangan masyarakat Betawi karena dua istrinya orang Betawi dan hampir 50 tahun menetap dan mengajar ilmu tajwid sampai wafatnya di Betawi sehingga MUI Jakarta, KODI dan Jakarta Islamic Centre (JIC) memasukkan KH. Abdul Hannan Sa’id dalam Seri Ulama Betawi (1) yang dimuat dalam Tabloid Republika, Dialog Jumat, 23 Februari 2007 dan buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi yang diterbitkan oleh Jakarta Islamic Centre (JIC) pada September 2009 serta buku Islam Ibukota dari Kramtung hingga ke Brussels yang diterbitkan oleh Jakarta Islamic Centre (JIC) pada Desember 2009.

SUMBER :

Judul Buku:
ULAMA BETAWI
(Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20).

Penulis: Ahmad Fadli HS

Penerbit: Manhalun Nasyi-in Press, Jakarta, 2011

ISBN:
978-602-98466-1-4



H. MUHAMMAD ARIF/H. DARIP (1886-1981) Panglima Perang Dari Klender



            H. Muhammad Arif atau biasa dipanggil H. Darip dilahirkan di Klender pada tahun 1886 dari pasangan H. Kurdin dan Hj. Nyai. Ia anak ketiga dari tiga bersaudara. Ia tidak menempuh pendidikan formal membaca dan menulis. Pelajaran membaca dan menulis huruf latin justru diperolehnya saat dipenjara dan belajar dari temannya. Dalam belajar agama, tidak diketahui kepada siapa H. Darip belajar agama akan tetapi ada kemungkinan ia belajar agama langsung kepada ayahnya.
            Pada tahun 1914 ia pergi haji ke Makkah dan langsung menetap di sana untuk memperdalam ilmu agama hingga kurang lebih dua tahun setengah (1916). Pulang dari Mekah, H. Darip mengawali perjuangannya dengan berdakwah di sebuah mushalla kecil, yang kini menjadi Masjid Al-Makmur yang cukup megah di Klender dan berjuang bersama para ulama lain, yakni KH Mursyidi dan KH Hasbiallah. Selain dikenal sebagai da’i, ia juga seorang yang memiliki ilmu main pukulan (ilmu silat) yang lihai. Ia adalah seorang tokoh yang disegani masyarakat, daerah kekuasaannya mencakup Klender, Pulogadung, Jatinegara hingga sampai Bekasi. 
            Pada saat terjadi revolusi fisik melawan Jepang dan Belanda, H. Darip membentuk BARA (Barisan Rakyat). Ia mengumpulkan para tokoh, pemuda dan jagoan yang tersebar di Klender dan sekitarnya. Di antara mereka yang ikut bergabung adalah H. Hasbullah (Kakak dari KH. Hasbiyallah) dan KH. Mursyidi. Mereka terlibat dalam pertempuran di beberapa front di kota Jakarta. H. Darip sendiri saat itu dijuluki "Panglima Perang dari Klender". Sebuah brosur dari Angkatan 45 DKI tanggal 17 Agustus 1985—empat tahun setelah Haji Darip meninggal dunia—menyebutkan, H. Darip pada zaman penjajahan Belanda (sebelum perang dunia kedua), berjuang bersama Soekarno bergerak di bawah tanah, terutama di Cilincing, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
            Ketika pendudukan Jepang, menyaksikan kekejaman pasukan Dai Nippon ini, H. Darip memimpin masyarakat di Klender dan menghimpun para jawara, narapidana dan napi Rutan Cipinang untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang. Sewaktu dia masih memimpin pergerakan dari Klender, banyak para pemimpin yang datang bahkan menginap di kediamannya, di antaranya  Soekarni, tokoh Murba, Kamaludin, Syamsuddin orang Padang, dan Pandu Kartawiguna. Mereka menginap di rumah H. Darip dan menyatakan kepadanya bahwa sebentar lagi Indonesia akan merdeka dan mereka membicarakan pengusiran orang Jepang.
            Anak buah H. Darip yang tergabung dalam BARA dimandikan oleh H. Darip kemudian diisi badannya dengan ilmu kebal lalu dicoba dengan dibacok badannya dengan golok. Setelah dirasa memiliki ilmu kebal maka pasukan BARA diperbolehkan untuk berjuang mengusir Jepang. H. Darip memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu dan mengusir tentara Jepang di Pangkalan Jati, Pondok Gede, Cipinang Cempedak, sepanjang Kali Cipinang dan lain-lain. Anak buah H. Darip bahkan sampai membunuh tentara Jepang. Hal tersebut dilakukan oleh anak buah H. Darip karena jika tentara Jepang tidak dibunuh maka anak buah H. Darip yang terbunuh karena tentara Jepang mempunyai senjata api sedang anak buah H. Darip hanya mempunyai kekuatan fisik dan golok saja. Beberapa sumur di Klender dan sekitarnya tidak ada yang mau minum airnya karena penuh dengan bangkai tentara Jepang, begitupula dengan sungai Sunter yang dipenuhi dengan mayat tentara Jepang.
            Setelah berhasil mengerahkan rakyat yang dihimpun dan dipimpinnya untuk menghabiskan tentara Jepang yang bertugas di pinggiran, maka H. Darip menyadari bahwa kekuatan rakyat tidak akan berarti jika tidak dilengkapi dengan peralatan senjata, logistik dan persediaan makanan. Kira-kira seminggu sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, H. Darip mendatangi Camat Klender dan meminta segala pakaian rakyat yang akan dibagikan jangan dikeluarkan sebelum saatnya tiba dan menunggu komando darinya.
            H. Darip juga mendatangi kantor polisi yang masih di bawah kekuasaan Jepang. Ia meminta supaya senjata-senjata yang ada di kantor polisi jangan diserahkan kepada Jepang, melainkan harus diserahkan kepada rakyat nanti. Lalu H. Darip menyuruh komandan polisi membuat pernyataan dan membubuhkan tanda tangannya untuk menyerahkan senjata kepada rakyat. Kemudian H. Darip pergi ke Seksi Tujuh. Ia bertemu dengan Darmatin dan Juhra anak Banten dan Sukahar dan meminta kepada mereka agar persenjataan yang ada di sana diserahkan kepada rakyat. Kemudian H. Darip menuju penjara Cipinang. Direkturnya diberi tahu hal yang sama dengan apa yang dikatakan pada Camat, Kepala polisi maupun Komandan Seksi VII. Pada saatnya pula nanti H. Darip meminta agar para tahanan dilepaskan. Ia juga datang ke Seksi V dan melakukan hal yang sama.
            Hari Proklamasi makin dekat dan keadaan makin panas saja. Tetapi dia telah mempersiapkan anak buahnya. Dia juga mendatangi gudang-gudang beras di Klender untuk memblokir beras yang ada jangan sampai keluar dari Klender. Maka jadilah Klender wilayah pertahanan yang merupakan gudang makanan dan persenjataan ala kadarnya.
            H. Darip mempersiapkan hal tersebut di atas setelah mendapat informasi dari Soekarni bahwa Indonesia sebentar lagi akan merdeka. Informasi itu diperoleh ketika terjadi serangan bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945 oleh Amerika Serikat atas perintah Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman. Setelah pengeboman tersebut maka pada 15 Agustus, Jepang mengumumkan bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Berita ini diketahui oleh kalangan pemuda bangsa Indonesia melalui berita siaran radio BBC (British Broadcasting Corporation) London. Pada saat yang sama Soekarno dan Hatta baru kembali ke tanah air memenuhi panggilan Panglima Mandala Asia Tenggara, Marsekal Terauchi di Saigon, Vietnam.
            Saat kembali ke tanah air, Soekarno ditemui para pemuda untuk membicarakan kemerdekaan Indonesia. Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.00 WIB, Soekarno dan Hatta "diculik" dan dibawa ke Rengasdengklok, Karawang oleh para pemuda di antaranya Soekarni, Chaerul Saleh dan lain-lain. Dalam peristiwa Rengasdengklok itu, H. Darip menjadi saksi hidup ketika para pemuda mendesak Soekarno Hatta agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
          Kemudian Soekarno Hatta ditempatkan di suatu rumah yang tidak layak di pinggir kali. Lalu H. Darip meminta kepada Soekarni dan kawan-kawannya agar Soekarno Hatta di tempatkan di rumah yang layak karena Soekarno Hatta adalah calon pemimpin yang harus dihormati. Atas permintaan H. Darip maka Soekarni dan kawan-kawan menempatkan Soekarno Hatta di rumah perkampungan milik warga Tionghoa, Djiaw Kie Siong.
          Pada waktu itu Soekarno dan Hatta menginginkan agar proklamasi dilakukan melalui PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sementara golongan pemuda menginginkan agar proklamasi dilakukan secepatnya tanpa melalui PPKI yang dianggap sebagai badan buatan Jepang. Selain itu, hal tersebut dilakukan agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Para golongan pemuda khawatir  apabila kemerdekaan yang sebenarnya merupakan hasil dari perjuangan bangsa Indonesia, menjadi seolah-olah merupakan pemberian dari Jepang.
          Setelah melalui perundingan yang panjang akhirnya disepakati bahwa proklamasi kemerdekaan dilaksanakan pada 17 Agustus di Jakarta kemudian bendera Merah Putih dikibarkan para pejuang di Rengasdengklok pada Rabu tanggal 16 Agustus, sebagai persiapan untuk proklamasi kemerdekaan Indonesia.
            Pada akhirnya, tepatnya hari Jumat, 17 Agustus 1945 atau bertepatan dengan 09 Ramadlan 1364 H, Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia. Proklamasi kemerdekaan tersebut disambut suka cita oleh seluruh rakyat Indonesia, tak ketinggalan rakyat yang berada di Klender dan sekitarnya. Setelah proklamasi kemerdekaan, Soekarno berkunjung ke Klender dan memimpin rapat akbar di sana serta meminta rakyat Klender ikut membantu mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
            Selanjutnya H. Darip memerintahkan rumah-rumah di Klender menaikkan bendera merah putih. Pabrik-pabrik di Klender, Cipinang, Jatinegara dan lain-lain diperintahkan mengganti bendera Jepang dengan merah putih. H. Darip juga meminta agar pabrik tidak mengeluarkan beras kecuali untuk makan laskar rakyat. Setelah berhasil menghimpun senjata, makanan dan pakaian, H. Darip memerintahkan anak buahnya untuk menjaga ketat wilayah Klender agar tidak dimasuki tentara Jepang atau mata-mata Jepang.
            Setelah Jepang menyerah dan kembali ke negerinya, Belanda dan tentara sekutu berusaha kembali menjajah Bangsa Indonesia. H. Darip bersama pasukan BARA bersiap-siap untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh Soekarno saat rapat akbar di Klender.
            Pada suatu penyerangan, Klender berhasil diduduki Belanda dan sekutu sehingga H. Darip dan pasukan BARA hijrah ke beberapa tempat seperti Tambun, Cikarang, Lemah Abang, Bekasi, Cikampek, Karawang hingga ke Purwakarta dan membentuk BPRI (Barisan Pejuang Rakyat Indonesia) Jakarta Raya. Dari tempat persembunyiannya—dengan pangkat Letnan Kolonel Tituler—ia bermarkas di Purwakarta dan menyusun strategi melawan NICA Belanda.
            Suatu ketika benteng pertahanan di Purwakarta diserang oleh Belanda melalui hujan bom dan peluru dari udara dan darat sehingga H. Darip dan pasukannya harus mengungsi ke hutan. Perjalanan ke hutan sangat memprihatinkan, terlebih di antara 4 (empat) isteri H. Darip ada yang sedang hamil dan ada yang mempunyai bayi yang masih kecil. Mereka harus turun naik bukit, menyebrang sungai dan menahan lapar dan dahaga. Jika rasa lapar dan dahaga tidak tertahankan mereka singgah ke rumah penduduk setempat untuk meminta makanan dan minuman. Di kemudian hari untuk keselamatan anak dan isteri-isterinya, H. Darip mengirimkan mereka ke Klender dan berpesan agar tidak memberitahukan kepada siapapun tentang posisi H. Darip dan pasukannya.  
            Pada saat memasuki bulan puasa, H. Darip dan pasukannya tetap berpuasa dan berjuang melawan Belanda. Mereka dari Parakan Lima menuju hutan Cempaka, hutan Bendul, Kembang Kuning dan Cibatu. Di hutan Cempaka H. Darip menghimpun kekuatan dan mengatur strategi untuk menyerang musuh. Pertahanan Belanda di Purwakarta kerapkali dibuat panik oleh serangan mendadak yang tidak terduga di malam hari atau menjelang subuh hingga suatu ketika Jayusman, anak buah H. Darip yang berasal dari Banten tertangkap. Ia ditembak tetapi tidak mempan dan akhirnya ia tewas setelah dipulir kepalanya.
            Belanda berusaha keras untuk menangkap H. Darip akan tetapi usaha itu sia-sia. Bahkan Belanda menjanjikan hadiah besar bagi orang yang bisa menangkap H. Darip. Pada akhirnya Belanda mengirim mata-mata untuk bergabung dan menjadi anak buah H. Darip. Tersebutlah Jami dan Sarosa yang menjebak dan membujuk H. Darip agar pergi ke Jogjakarta untuk kembali dekat dengan Soekarno. Sejak Januari 1946 Ibukota memang pindah dari Jakarta ke Jogjakarta.
            Sarosa berangkat mendahului. Kemudian menyusul H. Darip, Jami dan Entong, anak perawat kuda yang berumur 13 tahun. Ketika malam hari melewati hutan Jati, Sadang Purwakarta H. Darip disergap Belanda. H. Darip diikat erat dengan kabel listrik dan dibawa memakai mobil Jeep. Jami tidak terlihat ditangkap. Akhirnya ia menyadari bahwa ia dijebak dan dikhianati oleh Jami. Dari Sadang H. Darip dibawa ke Jakarta kemudian dimasukkan ke sel Polisi I Kebayoran selama tiga hari lalu dipindah ke Ancol.  Dalam kondisi tetap diikat dengan kabel listrik, H. Darip disiksa dengan gagang senapan dan dipukul bertubi-tubi sampai akhirnya H. Darip dijebloskan ke tahanan Glodok, Jakarta Kota (kini merupakan bagian dari pertokoan Harco) pada tahun 1948.
            Berita tertangkapnya H. Darip sampai ke anak buahnya. Mereka sangat marah ternyata pimpinannya tertangkap karena dijebak dan dikhianati oleh Jami. Kemudian anak buahnya mencari-cari Jami hingga akhirnya Jami ditangkap dan tewas dibunuh oleh anak buah H. Darip yang setia.      
            Pada akhir tahun 1949 H. Darip menulis surat kepada Soekarno agar ia dibebaskan dari penjara. Konon surat tersebut diterima oleh Fatmawati, istri Soekarno di Istana Negara. Tetapi Soekarno tidak bisa membebaskan H. Darip. Setelah penyerahan kedaulatan pada akhir Desember 1949, H. Darip akhirnya dibebaskan dari penjara. Para anak buahnya yang hampir 100 orang menyambut H. Darip di luar penjara dan membawa ke rumah Ghozali di Kebon Jahe kemudian ke Klender. Rumahnya di Klender sudah habis dibakar oleh Belanda saat ia di penjara. Lalu bersama-sama anak buahnya dan rakyat Klender secara gotong royong membuat rumah sederhana untuk H. Darip.
            Pada Mei atau Juni 1950 H. Darip dipanggil Soekarno ke Istana Cipanas. Ia dijemput oleh Letnan Ishaq Latief. Dalam pertemuan tersebut dihadiri oleh Menteri Pertahanan Hamengkubuwono. Soekarno menyambut dan memeluk H. Darip sambil menangis. Soekarno lalu menjelaskan surat H. Darip yang dikirimkan untuknya. Soekarno merasa yakin bahwa H. Darip akan bebas dan tidak akan mati di penjara.
            Pada tahun 1950 ketika keamanan Jakarta belum sepenuhnya stabil, foto H. Darip terjual habis. Masyarakat Jakarta, khususnya Klender dan terutama keturunan Cina akan merasa aman jika rumahnya terpampang foto H. Darip. Para pencoleng dan gerombolan penjahat tidak akan menggangu rumah atau toko yang terpampang foto H. Darip.
            H. Darip adalah rakyat biasa yang kemudian memimpin rakyat untuk melawan dan mengusir penjajah. Ia memiliki wibawa sehingga bisa menggerakan api semangat perlawanan terhadap penjajah. Ia juga berjuang tanpa pamrih sehingga ia tidak memperdulikan gelar veteran dan pahlawan. Di akhir masa hidupnya, ia menghabiskan waktu untuk berdakwah di Klender dan sekitarnya untuk mengamalkan ilmu yang ia dapat saat belajar di Makkah.
            H. Darip meninggal di Jakarta pada 13 Juni 1981 dan dimakamkan di Pemakaman Wakaf Ar-Rahman Jalan Tanah Koja II, Jatinegara Kaum, Pulogadung Jakarta Timur bersebelahan dengan makam salah satu istrinya, Hj. Hamidah.

SUMBER :

Judul Buku:
ULAMA BETAWI
(Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20).

Penulis: Ahmad Fadli HS

Penerbit: Manhalun Nasyi-in Press, Jakarta, 2011

ISBN:
978-602-98466-1-4