Tokoh yang sering disebut Guru Mugni ini terhitung ulama yang paling terkemuka di wilayah Selatan. Nama lengkap Guru Mugni adalah Abdul Mugni bin Sanusi bin Ayyub bin Qays. Dia lahir pada tahun 1860 di daerah Kuningan Jakarta Selatan dari pasangan H. Sanusi bin Ayyub dan Hj. Da’iyah binti Jeran.
Ia pertama kali belajar agama kepada
ayahnya H. Sanusi bin Qais di masjid Mubarok, Kuningan. Sesudah itu ia belajar
kepada seorang Guru mengaji bernama H. Jabir kemudian meneruskan belajar kepada
Sayyid Usman bin Yahya yang digelarinya “Mufti Betawi”. Dalam
usia 18 tahun, ia
dikirim ayahnya menuntut ilmu di Makkah dan bermukim di sana selama 9 tahun, Di
sana ia berguru kepada banyak ulama, antara lain Syaikh Sa’id al-Babasor,
Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Sa’id
al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali-Al-Maliki, Syaikh Abdul Karim Al-Dagestani,
Syaikh Mahfud At-Tremasi dan Syaikh Muhammad Umar Syatho, Syaikh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi dan lain-lain.
Sesudah kembali ke tanah air, Guru
Mugni mulai mengajar di rumahnya sendiri dan di masjid untuk beberapa waktu
sebelum kembali lagi ke Makkah dan bermukim untuk kedua kalinya selama lima
tahun. Selama di tanah suci, ia berteman dengan sejumlah orang Betawi yang
kelak juga menjadi ulama besar, seperti KH Marzuki (Guru Marzuki). Hubungan
pertemanannya dengan Guru Marzuki agaknya memiliki keistimewaan tersendiri,
karena gurunya bernama Muhammad Umar Syatha itu dikenal sebagai mursyid tarekat
Al-Alawiyah yang memberikan ijazah tarekatnya kepada Guru Marzuki, sedangkan
Guru Mugni sendiri tampaknya tidak memberi perhatian khusus kepada tarekat.
Ilmu fiqih, tauhid, tafsir, hadist, dan beberapa cabang ilmu bahasa Arab
merupakan ilmu yang ia ajarkan kepada beberapa muridnya.
Hubungan pertemanan Guru Mugni
dengan Guru Marzuqi berlanjut kepada kekeluargaan melalui jalur pernikahan.
Putra Guru Mughni, KH. Ali Sibromalisi menikah dengan Hj. Syaikhoh, putri Guru
Marzuqi. Melalui jalur pernikahan inilah anak cucu mereka berdua tetap bisa
bersilaturahim dan bertukar ilmu pengetahuan.
Guru Mugni menolak pekerjaan sebagai
Penghulu Kepala yang ditawarkan kepadanya—seperti umumnya ulama Betawi—karena
alasan kebangsaan, tidak ingin bekerjasama dengan penjajah. Selain itu, ia juga
dikenal sangat kaya sehingga untuk mengurusi kekayaan itu ia sengaja menyewa
pengacara yang bernama Muhammad Nafis. Secara ekonomi Guru Mugni tidak
mempunyai masalah oleh sebab itu bisa dipahami bila ia menolak pekerjaan yang
ditawarkan pemerintah. Bahkan sebagian hartanya disumbangkan untuk membiayai kegiatan
dakwah Islam dan juga untuk membantu masyarakat Kuningan yang memerlukan
bantuan modal untuk berdagang atau mengembangkan usaha mereka. Bahkan ketika
Guru Mugni bermukim di Makkah, ia kerapkali memberikan bantuan pinjaman
kemah-kemah kepada jama’ah haji Indonesia. Sementera rumahnya sendiri yang
berada di Makkah dijadikan wakaf tinggal para pelajar Indonesia yang bermukim
di sana. Hal itu
menunjukkan sifat sosial dan dermawan Guru Mugni yang lebih mengutamakan
kepentingan masyarakat daripada dirinya, terutama dalam membela tanah air.
Ketika terjadi revolusi fisik melawan penjajah, ia mengizinkan rumahnya yang
terletak di Jl Mas Masur 38 Tanah Abang dijadikan tempat pertemuan tokoh-tokoh
perkumpulan Yong Islamiten Bond oleh KH. Agus Salim.
Perlawanan
Guru Mugni terhadap Belanda juga dilakukan ketika hendak membangun masjid
Baitul Mugni. Saat itu Guru Mugni meminta rekomendasi kepada pemerintah
Belanda untuk membangun masjid tetapi Belanda—atas pertimbangan Snouck
Hurgronje—tidak mengeluarkan rekomendasi. Guru Mugni tetap melaksanakan
pembangunan masjid Baitul Mugni pada tahun 1901 dengan biaya sendiri dan di
atas tanahnya sendiri.
Pada tahun 1926, Guru Mugni
mendirikan madrasah Sa’adatud Dârain yang merupakan satu-satunya
madrasah yang ada di wilayah Kuningan pada saat itu. Menurut putra Guru Mugni,
KH. Hasan Basri, bangunan madrasah ini semula merupakan rumah kediaman ayahnya.
Ketika madrasah sudah didirikan, pengelolaannya diserahkan kepada kedua
puteranya KH. Syahrowardi dan KH. Rahmatullah dan dibantu menantunya, H.
Mahfudz dan H.M Toha. Guru Mugni sendiri hanya sebagai pengawas dan pembina.
Dalam hal pendidikan, ia menerapkan
aturan yang ketat kepada keluarganya. Tidak ada satupun anaknya diperbolehkan
di sekolah umum milik Belanda. Ini merupakan bentuk perlawanan Guru Mugni yang
non koperatif kepada pemerintahan kolonial. Kendati demikian bukan berarti ia
anti ilmu umum. Ia memanggil guru-guru umum untuk mengajarkan anak-anaknya
secara private. Hasil didikannya terbukti berhasil, banyak anak cucu
keturunannya menjadi ulama-ulama besar yang kelak meneruskan perjuangannya,
seperti KH. Ahmad Mawardi, KH. Syahrowardi, KH. Ali Syibramalisi, KH. Abdul
Aziz Abdullah Suhaimi dan lain-lain.
Selama hidupnya Guru Mugni menulis
dua buah karya, di antaranya adalah Taudhîh al-Dalâ’il fî Tarjamati Hadist
al-Syâmil dan Naqlah Min ‘Ibârat al-Ulama Nasihat Mawâ’izah li Awlad
al-Zamân Fî Adab Qirô’at al-Qur’ân wa Ta’limih.
Di antara muridnya yang mengikuti
jejak sang guru berdakwah adalah Guru Abdul Rahman Pondok Pinang, KH Hamim dari
Lenteng Agung, Guru Na’im dari Cipete, KH Hamim dan KH Rasain juga dari Cipete,
Guru Ilyas dari Karet dan Guru Ismail Pedurenan (dipanggil Guru Mael, mertua KH
Ahmad Junaidi Menteng Atas)
Guru Mugni wafat pada hari Kamis, 5
Jumadil Awal 1354 H/1935 M. Shalat jenazah baru dilaksanakan pada hari Jum’at
yang dipimpin oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi. Jenazahnya
dimakamkan di pekuburan keluarga di Mushola Al-Mizan/Langgar Tanjung, Jalan
Mega Kuningan Barat Blok E, 33 Kuningan Timur Jakarta Selatan, berdekatan
dengan Kedutaan Besar Republik Islam Pakistan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar