Menurut
C. Snouck Hurgronje, ada seorang ulama Betawi bernama Syaikh Junaid Al-Batawi,
sejak tahun 1834 telah menetap cukup lama di Makkah. Karena menetap di sana, maka ia sering
menampung dan mengajari jama’ah calon haji asal Betawi. Junaid
yang berasal dari kampung Pekojan memiliki
banyak murid, di antaranya adalah Syaikh Nawawi Banten. Karenanya, setiap haul
Syaikh Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah Syaikh Junaid. Karena
kedalaman ilmu yang dimiliki Junaid maka ia mendapat kepercayaan dari penguasa Hejaz untuk menjadi imam Masjidil Haram dan berhak
mengajar di serambi masjid tersebut.
Sebelum
kepergiannya ke Makkah, Junaid memang sudah dikenal sebagai ulama yang sangat
luas pengetahuan keagamaannya di tanah airnya sendiri, khususnya di Jakarta, Oleh karenanya,
wajar jika kemudian di Serambi Mekkah itu ia juga mempunyai banyak murid. Dan
karena luasnya pengetahuan keagamaan Syaikh Junaid itu, masyarakat Islam di
Makkah menggelarinya sebagai Syaikhul Masyaikh, guru dari segala guru. Sebuah
gelar penghormatan bagi seorang ulama yang pengetahuannya sangat luas dan
mendalam.
Kendati sudah lanjut usia, Junaid terkadang menghadiri
pesta-pesta orang-orang senegrinya yang terpelajar atau modern. Dalam pesta
tersebut, karena ilmu dan ketaqwaannya diakui, maka ia diminta oleh sahib
al-hajah untuk membacakan doa penutup atau memimpin dzikir walaupun
suaranya sudah mulai tidak jelas dan menjadi lemah karena lanjut usia. Bahkan
para mukimin Jawi yang baru dianugrahi anak, kerapkali datang kepadanya untuk
memberikan nama bagi anaknya yang baru lahir.
Syaikh Junaid adalah paman dari Guru Mansur.
Silsilah Guru Mansur yang ditulis oleh keturunannya, KH. Ahmadi Muhammad
termaktub bahwa kakek Guru Mansur, Imam Damiri memiliki 3 (tiga) anak, Junaid,
Abdul Hamid (ayah Guru Mansur) dan Hamim. Kemudian Junaid
menikah dengan seorang wanita asal Mesir. Ia dikaruniai tiga orang anak, yaitu
Said, As’ad dan Ruqoyah. Lalu Ruqoyah menikah dengan Syaikh Ahmad Muntaha dari
Tegal dan dikaruniai 2 (dua) anak, Muhammad dan Jamilah. Ada sumber menyebutkan
bahwa Junaid memiliki 4 anak, 2 putra dan 2 putri. Lalu 2
puteri tersebut menikah dengan Abdullah Al-Mashri dan Guru Mujtaba. Tetapi jika
melihat dari silsilah yang diuraikan di atas berarti Syaikh Junaid tidak
memiliki menantu yang bernama Abdullah Al-Mashri atau Guru Mujtaba yang
merupakan muridnya.
Dari
sekian banyak murid Junaid, salah seorang di antaranya bernama Guru Mujtaba.
Belakangan, Guru Mujtaba juga mendapat kehormatan dengan diberikannya gelar waliyullah
kepadanya oleh masyarakat Islam di tanah suci karena kealimannya. Guru
Mujtaba satu angkatan dengan dengan Syaikh Nawawi Banten dan Syaikh Ahmad
Khatib Al-Minangkabawi. Guru Mujtaba terkadang kembali ke Betawi untuk
menjenguk istrinya. Pada kesempatan itu ia membawa barang dagangan dari Hejaz
dan dijual di Betawi. Ia juga membawa beberapa kitab-kitab agama. Karena
kunjungan yang singkat ia tidak sempat membangun madrasah. Orang-orang Betawi
berguru kepadanya ketika ia bermukim di Makkah selama 40 tahun.
Jika Guru Mujtaba akhirnya kembali
ke Betawi tahun 1904, Syaikh Junaid Al-Batawi tetap tinggal di sana. Khabarnya,
ia meninggal dunia di tanah suci akhir abad ke 19. Alwi Shahab menuliskan tahun
1840 sebagai tahun wafat Syaikh Junaid
di usia 100 tahun. Ridwan Saidi meragukan hal itu karena pada tahun 1894-1895
ketika Snouck Hurgronje menyusup ke Makkah, diketahui Syaikh Junaid masih hidup
dalam usia yang sangat lanjut.
Meskipun tidak dikenal tanggal pasti
wafatnya, ia telah mendidik murid-muridnya asal Betawi menjadi ulama-ulama
besar. Menurut Buya Hamka, ulama-ulama Betawi di sana menjadi kelas menengah (middenstand)
yang berpengaruh. Hamka menjelaskan bahwa dalam perjanjian yang diadakan antara
Raja Ali putera Raja Husein, penguasa Mekkah dengan Raja ibn Sa’ud yang
berhasil merebut Mekkah tahun 1925, disebutkan ada beberapa syarat penyerahan
kekuasaan. Di antaranya adalah supaya beberapa orang besar dan ternama yang
memiliki hubungan baik dengan penguasa Mekkah itu diberi kebebasan. Di
antaranya adalah beberapa nama yang diujung namanya disebut “Betawi”.
Mereka adalah Syaikh Abdullah Betawi, Syaikh Ahmad Betawi dan Syaikh Sa’id Betawi.
Keturunan keluarga Betawi masih ada sampai sekarang (1987) dalam perlindungan
Kerajaan Saudi Arabia, baik di Makkah maupun di Jeddah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar