Selasa, 10 Februari 2015

SYAIKH JUNAID Al-BATAWI



            Menurut C. Snouck Hurgronje, ada seorang ulama Betawi bernama Syaikh Junaid Al-Batawi, sejak tahun 1834 telah menetap cukup lama di Makkah. Karena menetap di sana, maka ia sering menampung dan mengajari jama’ah calon haji asal Betawi. Junaid yang berasal dari kampung Pekojan memiliki banyak murid, di antaranya adalah Syaikh Nawawi Banten. Karenanya, setiap haul Syaikh Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah Syaikh Junaid. Karena kedalaman ilmu yang dimiliki Junaid maka ia mendapat kepercayaan dari penguasa Hejaz untuk menjadi imam Masjidil Haram dan berhak mengajar di serambi masjid tersebut.
            Sebelum kepergiannya ke Makkah, Junaid memang sudah dikenal sebagai ulama yang sangat luas pengetahuan keagamaannya di tanah airnya sendiri, khususnya di Jakarta, Oleh karenanya, wajar jika kemudian di Serambi Mekkah itu ia juga mempunyai banyak murid. Dan karena luasnya pengetahuan keagamaan Syaikh Junaid itu, masyarakat Islam di Makkah menggelarinya sebagai Syaikhul Masyaikh, guru dari segala guru. Sebuah gelar penghormatan bagi seorang ulama yang pengetahuannya sangat luas dan mendalam.
            Kendati sudah lanjut usia, Junaid terkadang menghadiri pesta-pesta orang-orang senegrinya yang terpelajar atau modern. Dalam pesta tersebut, karena ilmu dan ketaqwaannya diakui, maka ia diminta oleh sahib al-hajah untuk membacakan doa penutup atau memimpin dzikir walaupun suaranya sudah mulai tidak jelas dan menjadi lemah karena lanjut usia. Bahkan para mukimin Jawi yang baru dianugrahi anak, kerapkali datang kepadanya untuk memberikan nama bagi anaknya yang baru lahir.
          Syaikh Junaid adalah paman dari Guru Mansur. Silsilah Guru Mansur yang ditulis oleh keturunannya, KH. Ahmadi Muhammad  termaktub bahwa kakek Guru Mansur, Imam Damiri memiliki 3 (tiga) anak, Junaid, Abdul Hamid (ayah Guru Mansur) dan Hamim. Kemudian Junaid menikah dengan seorang wanita asal Mesir. Ia dikaruniai tiga orang anak, yaitu Said, As’ad dan Ruqoyah. Lalu Ruqoyah menikah dengan Syaikh Ahmad Muntaha dari Tegal dan dikaruniai 2 (dua) anak, Muhammad dan Jamilah. Ada sumber menyebutkan bahwa Junaid memiliki 4 anak, 2 putra dan 2 putri. Lalu 2 puteri tersebut menikah dengan Abdullah Al-Mashri dan Guru Mujtaba. Tetapi jika melihat dari silsilah yang diuraikan di atas berarti Syaikh Junaid tidak memiliki menantu yang bernama Abdullah Al-Mashri atau Guru Mujtaba yang merupakan muridnya.
         Dari sekian banyak murid Junaid, salah seorang di antaranya bernama Guru Mujtaba. Belakangan, Guru Mujtaba juga mendapat kehormatan dengan diberikannya gelar waliyullah kepadanya oleh masyarakat Islam di tanah suci karena kealimannya. Guru Mujtaba satu angkatan dengan dengan Syaikh Nawawi Banten dan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Guru Mujtaba terkadang kembali ke Betawi untuk menjenguk istrinya. Pada kesempatan itu ia membawa barang dagangan dari Hejaz dan dijual di Betawi. Ia juga membawa beberapa kitab-kitab agama. Karena kunjungan yang singkat ia tidak sempat membangun madrasah. Orang-orang Betawi berguru kepadanya ketika ia bermukim di Makkah selama 40 tahun.
            Jika Guru Mujtaba akhirnya kembali ke Betawi tahun 1904, Syaikh Junaid Al-Batawi tetap tinggal di sana. Khabarnya, ia meninggal dunia di tanah suci akhir abad ke 19. Alwi Shahab menuliskan tahun 1840 sebagai tahun wafat  Syaikh Junaid di usia 100 tahun. Ridwan Saidi meragukan hal itu karena pada tahun 1894-1895 ketika Snouck Hurgronje menyusup ke Makkah, diketahui Syaikh Junaid masih hidup dalam usia yang sangat lanjut. 
            Meskipun tidak dikenal tanggal pasti wafatnya, ia telah mendidik murid-muridnya asal Betawi menjadi ulama-ulama besar. Menurut Buya Hamka, ulama-ulama Betawi di sana menjadi kelas menengah (middenstand) yang berpengaruh. Hamka menjelaskan bahwa dalam perjanjian yang diadakan antara Raja Ali putera Raja Husein, penguasa Mekkah dengan Raja ibn Sa’ud yang berhasil merebut Mekkah tahun 1925, disebutkan ada beberapa syarat penyerahan kekuasaan. Di antaranya adalah supaya beberapa orang besar dan ternama yang memiliki hubungan baik dengan penguasa Mekkah itu diberi kebebasan. Di antaranya adalah beberapa nama yang diujung namanya disebut “Betawi”. Mereka adalah Syaikh Abdullah Betawi, Syaikh Ahmad Betawi dan Syaikh Sa’id Betawi. Keturunan keluarga Betawi masih ada sampai sekarang (1987) dalam perlindungan Kerajaan Saudi Arabia, baik di Makkah maupun di Jeddah.

SUMBER :

Judul Buku:
ULAMA BETAWI
(Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20).
Penulis: Ahmad Fadli HS
Penerbit: Manhalun Nasyi-in Press, Jakarta, 2011
ISBN978-602-98466-1-4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar