Sayyid Usman lahir di Pekojan
pada tanggal 17 Rabbiul Awal 1238 H/01 Desember 1822 M. Ayahnya adalah Sayyid
Abdullah bin Agil bin Umar bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Aminah binti Syaikh
Abdurrahman al-Misri.
Sayyid Usman pergi ke Mekah untuk
menunaikan ibadah haji tetapi kemudian bermukim di sana selama 7 tahun dengan
maksud memperdalam ilmunya. Di Mekah ia belajar pada ayahnya dan Sayyid Ahmad
Zaini Dahlan, seorang mufti Mekah.
Pada tahun 1848 ia berangkat pula ke
Hadramaut untuk belajar pada Syaikh Abdullah bin Husein bin Thahir, Habib
Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf al-Jufri dan Habib Hasan bin
Shaleh al-Bahar. Dari Hadramaut ia berangkat pula ke Mesir dan belajar di Kairo
walaupun hanya untuk 8 bulan. Kemudian meneruskan perjalanan lagi ke Tunis
(berguru pada Syaikh Abdurrahman al-Maghgribi), Istambul, Persia dan
Syria. Maksud Sayyid Usman bepergian
dari suatu negeri ke negeri lain adalah untuk memperoleh dan mendalami
bermacam-macam ilmu seperti ilmu fiqh, tasawuf, tarikh, falak, dan lain-lain.
Setelah itu ia kembali ke Hadramaut.
Pada tahun 1279 H/1862 M ia kembali
ke Batavia dan menetap di sini hingga wafatnya pada tahun 1331 H/1913 M. Sayyid
Usman diangkat menjadi mufti menggantikan mufti sebelumnya, yaitu Syaikh Abdul Gani
yang telah lanjut usianya dan juga sebagai Adviseur Honorer untuk urusan
Arab (1899-1914) di kantor Voor Inlandsche Zaken. Di sana Sayyid Usman
digaji 100 Gulden sebulan atau 1/7 dari gaji Snouck Hurgronje. Ia terlibat
dalam politik sebagai penasehat pemerintah Belanda dan menjalani hubungan
dengan Snouck, L.W.C. Van den Berg dan K.F. Holle.
Di Batavia, ia juga mengabdikan
hidupnya untuk berdakwah, mengajar dan menulis. Ia merupakan guru agama yang
dicari masyarakat Betawi. Dia mulai mengajar di Masjid Pekojan dengan bantuan
ulama terkenal Abdul Ghani Bima. Sayyid Usman dengan tegas menolak perkawinan
antara Sayyid dan non Sayyid dan kerapkali berpolemik dengan ulama lain. Dia
pernah mengkritik keras Syaikh Ismail al-Minangkabawi dan Syaikh
Sulaiman al-Affandi yang memperkenalkan tariqat Naqshbandiyah di Minangkabau.
Menurut Sayyid Usman, tarekat ini telah membawa kehancuran umat Islam. Dia
juga terlibat polemik dengan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi tentang “dua
masjid” di Palembang. Sayyid
Usman juga sangat anti gerakan Wahabi dan menganggap gerakan itu sangat
radikal. Dalam bukunya “Mustika Pengaruh buat Menyembuhkan Penyakit Keliru”
dia berpendapat bahwa kaum Wahabi adalah paling berdusta.
Sayyid Usman membantu Belanda dalam
persoalan politik karena menginginkan perdamaian di Hindia Belanda dan
menegakkan hukum guna keamanan. Oleh karenanya banyak ulama kurang bersahabat
dengannya. Dalam karyanya “Minhâj al Istiqâmah fî al-Din al-Salâmah
(1307/1889-1890) dia membahas tentang jihad. Dalam karya itu ia menjelaskan
jihad di Banten yang muncul pada 1888. Menurutnya, jihad di Banten adalah salah
memahami tentang ajaran Islam. Menurutnya jihad tersebut adalah hanya gangguan
keamanan yang akan membawa sengsara bagi umat Islam. Ia menyebut para pelaku jihad
adalah syaitan karena pengikut jihad telah mengabaikan ajaran Islam.
Sayyid Usman merupakan ulama yang
berorientasi pada syariah dan mengkritik praktek bid’ah. Dia sangat kritis
tentang ahli tarikat atau tasawuf. Menurutnya, tasawuf tidak boleh diajarkan
kepada orang awam. Seorang harus memahami tauhid, fiqih dan sifat hati untuk
memahami tasawuf. Sayyid Usman berpendapat bahwa Islam terdiri dari tiga
bagian, syariah, tariqah dan haqiqah. Syariah adalah semua
perintah dan larangan Allah. Tariqah adalah implementasi syariah dan haqiqah
adalah adopsi konsep bahwa semua adalah ciptaan dan milik Allah dan tujuan
akhir mereka telah ditentukan oleh Allah SWT. Dia berpendapat bahwa para sufi
masa kini hanya menciptakan bid’ah yang menimbulkan keraguan melalui tariqah
mereka. Dia berpendapat bahwa tariqah-tariqah yang didirikan oleh al-Junaid bin
Muhammad al-Baghdadi, al-Sadah al-Alawiyah, tariqah dari al-Ghazali, al-Qadiriyah,
Rifa’iyah,
Naqshabandiyah dan Khalwatiyah adalah
tariqah yang sesuai dengan syariah. Sayyid Usman menyepakati bahwa beberapa
sufi di masa silam adalah orang keramat karena mereka adalah aulia Allah. Akan
tetapi tariqah Naqshbandiyah yang dirintis oleh Syaikh Ismail al-Minangkabawi
dan Sulaiman al-Affandi yang mempunyai pengikut di dunia Arab dan Nusantara
telah banyak kesalahan.
Kendati demikian, Muhammad Syamsu
berpendapat bahwa jika ada asumsi bahwa Sayyid Usman adalah orang yang anti
tarekat, maka tidak benar sebab ia belajar tasawuf dan tarekat di Hadramaut dan
Makkah. Sayyid Usman hanya menentang tarekat yang menyimpang dari agama. Selain
ke Makkah dan Hadramaut ia belajar ke Mesir, Tunis, Aljazair, Jordania dan
Turki. Oleh karena budaya modern di negara tersebut maka ia berpakaian modern
dan bisa diterima karena luas pergaulannya. Karena ilmunya yang luas maka dia
diangkat menjadi Mufti Betawi oleh pemerintah Hindia Belanda.
Sayyid Usman termasuk ulama yang
berjasa besar dalam hal pengajaran agama melalui media cetak di kalangan
masyarakat Betawi. Ia memiliki percetakan sendiri di Tanah Abang (sekarang
daerah Petamburan). Kendati Sayyid Usman tidak memiliki keturunan yang
meneruskan jejaknya sebagai juru dakwah tetapi usaha dakwah di Petamburan
sekarang diteruskan oleh KH. Usman Abidin. Orang Betawi menyebutnya “Kiai
Bima” karena ia adalah seorang keturunan Abdul Gani Bima, ulama terkenal
Nusantara di Haramain abad ke-18 yang menjadi salah satu sanad bagi sejumlah
ulama Betawi.
Sebagai seorang ulama, Sayid Usman sangat
produktif dengan mengarang 126 lebih buku. Kendati karangannya pendek dan
sekitar 20 halaman saja, tetapi banyak mengenai pertanyaan yang timbul dalam
masyarakat muslim tentang syariat Islam. Beberapa di antara buku karangannya yaitu :
1. Taudhih al-Adillati ‘ala Syurûthi
Syuhûdi al-Ahillah, 1873 M.
2.
Al-Qawânin
asy-Syar’iyah li Ahl al-Majâlisi al-Hukmiyah wal Iftâiyah. 1881. Buku petunjuk
umum untuk para penghulu.
3.
Ta’bir
Aqwa ‘adillah.
4.
Jam’al-Fawâid,
1301 H.
5.
Sifat
Dua Puluh.
6.
Irsyâd
al-Anâm.
7.
Zahr
al-Basim.
8.
Ishlâh
al-Hal.
9.
At-Tuhfat
al-Wardiah.
10. Silsilah Alawiyah.
11. Ath-Thâriq ash-Shahihah.
12. Taudhih al-Adillah.
13. Maslak al-Akhyar.
14. Sa’âdal al-Anâm.
15. Nafâis an-Nihlah.
16. Kitab al-Farâid.
17. Saghauna Sahaya.
18. Muthâla’ah.
19. Soal Jawab Agama.
20. Tujuh Faedah.
21. An-Nashihat al-aniwah.
22. Khutbah Nikah.
23. Al-Qur’ân Wa ad-Dua.
24. Ringkasan Ilmu Adat Istiadat.
25. Ringkasan Seni membaca Al-Qur’an.
26. Membahas Al-Qur’an dan Kesalahan
dalam berdoa.
27. Perhiasan.
28. Ringkasan Unsur Unsur Doa.
29. Ringkasan Tata Bahasa Arab.
30. As-silsilah an Nabawiyah.
31. Atlas Arabi.
32. Gambar Makkah dan Madinah.
33.
Ringkasan Seni Menentukan Waktu Sah untuk
Sholat.
34. Ilmu Kalam.
35. Hukum Perkawinan.
36.
Ringkasan Hukum Pengunduran Diri Istri
Secara Sah.
37. Ringkasan Undang-Undang Saudara Susu.
38.
Buku Pelajaran Bahasa dan Ukuran Benda.
39. Adab al-Insan.
40. Kamus Arab Melayu.
41. Cempaka Mulia.
42. Risalah Dua Ilmu.
43. Bab al-Minân.
44. Keluarga.
45. Khawâriq al-adat.
46. Kitab al-Manasik.
47. Ilmu Falak.
Di
antara karya Sayyid Usman yang terpenting adalah Tawdîh al-Adillat ‘ala
Syurûth Syuhûd al-Ahillat. Latar belakang kitab ini adalah karena pada
tahun 1882 umat Islam di Jakarta terbagi dua dalam menentukan awal puasa
Ramadhan. Sebagian mulai puasa Ramadhan pada hari Minggu dan sebagian mulai
puasa pada hari Senin.
Dalam
bukunya Risalah Dua Ilmu Sayyid Usman membagi ulama menjadi 2 macam,
yaitu ulama dunia dan akhirat. Ulama yang tidak ikhlas, materialistis,
berambisi dengan kedudukan, sombong dan angkuh termasuk ulama dunia. Sedangkan
ulama yang ikhlas, tawadlu, yang berjuang mengamalkan ilmunya tanpa pretensi
apa-apa, lillahi ta’ala hanya mencari ridla Allah semata maka termasuk
ulama akhirat.
Kendati
Sayyid Usman diakui keilmuannya, tetapi tidak banyak ulama Betawi terkemuka
yang belajar kepadanya. Hal ini kemungkinan dengan posisinya sebagai Penasehat
Pembantu bagi pemerintah Belanda pada Het Kantoor voor Islamitische en
Arabische Zaken. Bagi para ulama Betawi saat itu, seorang ulama yang
bekerja pada pemerintah, sekalipun sebagai penghulu tidak dipandang terhormat
kendati ilmunya luas.
Kendati demikian, Sayyid Usman telah berhasil mendidik salah satu muridnya dari
Kuningan yang kelak menjadi ulama besar yang disegani dan dipanggil dengan
sebutan Guru Mugni dan Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi yang dipanggil
dengan sebutan Habib Ali Kwitang.
Sebelum wafat Sayid Usman berpesan agar
makamnya tidak dibuat kubah dan tidak perlu mengadakan haul untuk dirinya.
Sayid Usman Sayid Usman wafat pada 21 Shofar 1331 H atau bertepatan 19 Januari
1914 M, jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Namun pada masa Gubernur Ali
Sadikin, makam Sayid Usman digusur dan oleh pihak keluarga dipindahkan ke
Pondok Bambu. Sekarang makamnya masih terpelihara dengan baik di sebelah
Selatan masjid Al-Abidin di jalan Masjid Abidin Sawah Barat, Pondok Bambu,
Jakarta Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar