Rabu, 04 Februari 2015

KRH. Muhammad Amin (GURU AMIN KALIBATA) 1901-1965


     Kiai Raden Haji Muhammad Amin atau yang akrab dipanggil Guru Amin lahir pada 03 Juni 1901 di Kebayoran Lama dari pasangan KH. Raden Muhammad Ali atau Guru Ali asal Jatinegara Kaum Jakarta Timur dan Maryam
        Leluhur Guru Amin dari pihak ayah sampai kepada Pangeran Muhammad Syarief (Pangeran Sanghiyang) yang dimakamkan di Pemakaman Jatinegara Kaum. Saat masih kecil Amin tinggal di Kalibata Pulo dan belajar agama kepada ayahnya. Ketika ayahnya wafat pada tahun 1913 atau saat Amin berusia 12 tahun, ia mempelajari sendiri kitab-kitab peninggalan ayahnya sehingga beberapa tahun kemudian ia mampu menggantikan posisi ayahnya mengajar fiqih Fathul Mu’in di Masjid Salafiyah Kalibata Pulo yang didirikan oleh ayahnya, Guru Ali. Konon, bila Amin mengalami kesulitan maka ia bisa menemui ayahnya lewat mimpi kemudian mengajarkan dan memberitahukan solusi pemecahan kepadanya.
        Sejak ayahnya wafat, ia belajar kepada kakaknya, KH. Zainudin yang dipanggil Guru Ending sampai Amin berusia 18 tahun dan Guru Ending pindah ke Cilendek Bogor. Selain kepada ayah dan kakaknya, Amin juga berguru kepada Guru Marzuqi Cipinang Muara, Guru Mansur Jembatan Lima, Guru Abdurrahim Kuningan dan Syaikh Mukhtar At-tharid Bogor di Makkah.
        Pada tahun 1919 atau saat berusia 18 tahun ia menikah dengan Fatimah kemudian ia pindah ke Kalibata Jakarta Selatan. Untuk menghidupi keluarganya ia berbisnis bahan bangunan yang memang banyak digeluti para haji di Betawi kala itu.
        Karena bisnisnya berhasil maka pada tahun 1930 ia membeli tanah hampir satu hektar di pinggir Jalan Raya Pasar Minggu yang kemudian menjadi bagian dari areal Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Di sana ia membangun rumah, pesantren Unwanul Huda dan menggerakkan bisnisnya berjualan pasir, kapur, genteng, batu bata, semen, bambu, ubin dan bahan material bangunan lainnya.
        Untuk belanja bahan bangunan ia pergi ke Bekasi. Perjalanan Kalibata-Bekasi saat itu menempuh waktu sampai larut malam hingga Amin menginap di salah satu mushola di Bekasi. Suatu ketika, Amin menginap di mushola tersebut dan sedang diadakan pengajian. Guru ngaji di mushola itu  dalam mengajarnya terdapat kesalahan sehingga dikoreksi oleh Amin. Hal itu sering dilakukan oleh Amin setiap ia belanja ke Bekasi dan menginap di mushola tersebut. Rupanya, guru tersebut mengadu kepada ulama setempat bahwa ia sering dikoreksi oleh Amin dalam setiap mengajar. Hingga pada akhirnya ulama setempat mengundang masyarakat lain yang lebih banyak dari biasanya untuk menghadiri pengajian di mushola dengan harapan dapat bertemu Amin. Betul saja. Amin kembali menginap di mushola itu. Seperti biasa, Amin selalu membetulkan setiap kalimat yang salah dari guru ngaji tersebut. Rupanya ulama setempat dari awal sudah memperhatikan jalannya pengajian dan menyimak koreksian dari Amin. Akhirnya ulama setempat mengetahui bahwa Amin lebih pandai dari guru ngaji mushola itu dan mempersilahkan Amin untuk mengajar. Belakangan diketahui bahwa ulama setempat itu adalah mertua KH. Noer Ali dan kemudian hari mertuanya mempersaudarakan mereka berdua. Sejak itu, setiap Guru Amin pergi ke Bekasi untuk membeli material ia menginap dan mengajar di mushola tersebut. Tidak hanya itu, pada akhirnya banyak juga masyarakat dari Bekasi, Cikampek, Cikunir dan Cabangbungin yang kemudian menjadi santri Guru Amin di Unwanul Huda.
        Guru Amin disamping sebagai ulama juga seorang pejuang. Ia berteman dekat dengan KH. Noer Ali, pejuang dari Bekasi dan H. Darip, pejuang dari Klender. Guru Amin memimpin para santri dan pemuda dalam pertempuran melawan Belanda di Kalibata, tepatnya di sekitar pabrik sepatu Bata sekarang yang kala itu masih berupa hutan karet. Korban yang berjatuhan di antara kedua belah pihak cukup banyak. Peristiwa inilah yang kemudian mengilhami pemerintah menunjuk Kalibata sebagai Taman Makam Pahlawan.
        Sejak pertempuran di Kalibata, Guru Amin dicari-cari oleh Belanda dan para antek-anteknya. Suatu ketika, Belanda mendapatkan Guru Amin berada di rumah mertuanya, H. Abdullah di Kalibata. Di sana ada Guru Amin, Hasbullah Amin, puteranya dan Syarifah, salah satu familinya yang keturunan Arab. Melihat mereka bertiga Belanda mengira bahwa Guru Amin adalah bapak dari Syarifah yang keturunan Arab. Belanda melihat wajah Guru Amin seperti orang Arab dan bertanya kepada Syarifah, “apa dia bapakmu ?” Syarifah menjawab tanpa ragu “iya”. Merasa yang dicari tidak ada maka Belanda mencari Guru Amin di tempat lain dan Guru Amin selamat tidak tertangkap.
        Menyadari bahwa situasinya tidak kondusif lagi maka pada tahun 1946 Guru Amin hijrah ke Cikampek dengan menggunakan KA dari Stasiun Manggarai dan menyamar sebagai tukang beras. Selama dua tahun dalam pengungsian, Guru Amin ditampung oleh sahabatnya, KH. Syafi’i Ahmad. Di Cikampek, Guru Amin dan para santrinya yang berasal dari sana memimpin perjuangan melawan penjajah lewat beberapa pertempuran di berbagai front.
        Guru Amin kembali lagi ke Kalibata pada tahun 1948. Ketika ditinggal ke Cikampek oleh Guru Amin, ternyata rumahnya sudah diacak-acak. Semua kitab yang disimpan di tiga lemari dihancurkan sehingga tidak bisa digunakan lagi. Ketika kembali ke Kalibata, para santri dan masyarakat menyambutnya dengan suka cita. Hampir tiap hari rumah Guru Amin dikunjungi oleh santri dan masyarakat. Akhirnya Belanda mencurigai Guru Amin melakukan mobilisasi massa sehingga ia tidak diperbolehkan keluar rumah kecuali mengajar di Pesantren Unwanul Huda dan para santri yang harus datang ke sana.
        Setelah perang kemerdekaan, Pemerintah Pusat melalui Ir. Sofwan meminta Guru Amin menjadi Ketua Mahkamah Islam Tinggi (MIT) yang berkedudukan di Solo. Guru Amin menolak secara halus karena tidak mendapat restu dari ibunya. Akhirnya jabatan tersebut diserahkan kepada KH. R. Muhammad Adnan.
        Pada tahun 1950 Menteri Agama, KH. Masykur meminta bantuan Guru Amin untuk membentuk penghulu-penghulu (sekarang Kantor Urusan Agama/KUA) di sekitar Jakarta, Bekasi, Tangerang dan Karawang. Guru Amin merekrut dan mengangkat para santrinya yang mumpuni untuk mengemban tugas tersebut. Dalam waktu relatif singkat terbentuklah 22 penghulu di 22 Kecamatan yang tersebar di Jakarta dan sekitarnya, Tambun, Cibitung, Lemahabang hingga Pebayoran dan Cabangbungin, wilayah terpencil yang merupakan muara dari kali Citarum.
        Setelah tugas membentuk KUA selesai, Guru Amin melaporkan langsung kepada Menteri Agama KH. Masykur. Selanjutnya KH. Masykur meminta bantuan Guru Amin untuk bersedia menjadi Kepala Penghulu yang mengawasi kepala-kepala KUA. Guru Amin diminta menjadi Kepala Penghulu karena para kepala KUA adalah para murid Guru Amin dan karena memang keilmuan Guru Amin yang tidak diragukan lagi.
        Guru Amin juga aktif di NU dan berkiprah di Partai Masyumi. Rumah Guru Amin kerapkali dikunjungi tokoh Masyumi seperti Muhammad Natsir, Hamka, Abu Bakar Aceh, Harsono Cokroaminoto dan lain-lain. Guru Amin juga menjadi anggota KNIP dan anggota Dewan Perumus Persiapan Proklamasi Kemerdekaan bersama tokoh nasional lainnya seperti Soekarno, Hatta, Abdul Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Muh. Yamin, Soepomo dan lain-lain. Mereka kerapkali menggelar rapat penting di rumah Soekarno, jalan Pegangsaan Timur No 56 Jakarta Pusat (kini Tugu Proklamasi).
        Setelah tidak bertugas di Departemen Agama, Guru Amin kembali membenahi Lembaga Unwanul Huda sehingga dikenal di masyarakat Betawi. Lokasi Unwanul Huda berada tepat di seberang TMP Kalibata. Di tempat ini berdiri juga masjid Guru Amin yang cukup megah.
        Guru Amin juga produktif menulis beberapa karya, di antaranya Badi’atul Fikriyah, Mudzakaratul Ikhwan, Riyadhul Abrar, Hidayatul Ikhwan dan Sabilal Mubtadi. Hampir selama 50 tahun ia aktif menulis, mengajar dan memberikan ceramah di berbagai tempat.
        Guru Amin dikaruniai 19 orang anak. Di antaranya KH. Abdul Aziz Amin, KH. Zayadi Amin, KH. Syarifudin Amin, Ustadzah Hj. Darjah Amin, Drs. KH. Hasbullah Amin, Drs. H. Makmun Amin dan lain lain. Putra Guru Amin yaitu Drs. KH. Hasbullah Amin pernah menjadi anggota DPRD DKI dari Partai NU pada tahun 1971-1977 dan PPP pada tahun 1977-1982 lalu DPR RI dari PPP pada tahun 1982-1987, sementara Makmun Amin adalah mantan Asisten Keuangan Pemprov DKI Jakarta. Seorang cucu Guru Amin, Dadang Kafrawi pernah menjadi Walikota Jakarta Selatan dan seorang keponakannya, Muhayat pernah menjadi Walikota Jakarta Pusat dan Sekda Provinsi DKI Jakarta.
        Guru Amin wafat pada Selasa 04 Jumadil Ula 1385 H bertepatan 31 Agustus 1965. Awalnya, jenazah Guru Amin akan dimakamkan di TMP Kalibata. Guru Amin layak dimakamkan di TMP Kalibata karena ia seorang pejuang dan telah mendapatkan Surat Veteran dari Menteri Veteran saat itu, Sambas Atmadinata. Akan tetapi H. Syaikhu Ketua DPR RI dan H. Syafi’ie Wakil Gubernur DKI Jakarta yang melayat saat itu menyarankan jenazah Guru Amin tidak dimakamkan di TMP Kalibata agar para murid-muridnya bisa dengan mudah untuk berziarah. Setelah keluarga Guru Amin bermusyawarah akhirnya Guru Amin dimakamkan di komplek Unwanul Huda dekat masjid Guru Amin Jalan Raya Pasar Minggu, di seberang TMP Kalibata Jakarta Selatan setelah mendapatkan surat idzin pemakaman dari Sumarno Gubernur DKI Jakarta saat itu. Masjid Guru Amin sendiri berdiri pada 31 Juli 2005 yang dibangun oleh anak keturunannya sebagai tanda terima kasih mereka terhadap orang tuanya.
            Setelah wafatnya Guru Amin, seorang anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) Bidang Pendidikan dan Nama Nama Jalan Pemda DKI Jakarta, MCH. Ibrahim mengusulkan agara nama Guru Amin dijadikan nama jalan di wilayah Kalibata. Akan tetapi para keluarga dan keturunannya menolak dengan halus karena bagi mereka Guru Amin berjuang untuk negeri secara ikhlas dan tidak membutuhkan namanya dijadikan nama jalan.


SUMBER : 

Judul Buku:
ULAMA BETAWI
(Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20).

Penulis: Ahmad Fadli HS

Penerbit: Manhalun Nasyi-in Press, Jakarta, 2011

ISBN:

                                      978-602-98466-1-4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar