Kiai Raden Haji Muhammad Amin atau yang akrab dipanggil Guru Amin lahir
pada 03 Juni 1901 di Kebayoran Lama dari pasangan KH. Raden Muhammad
Ali atau Guru Ali asal Jatinegara Kaum Jakarta Timur dan Maryam
Leluhur Guru Amin dari pihak ayah
sampai kepada Pangeran Muhammad Syarief (Pangeran Sanghiyang) yang dimakamkan
di Pemakaman Jatinegara Kaum. Saat masih kecil Amin tinggal di Kalibata Pulo
dan belajar agama kepada ayahnya. Ketika ayahnya wafat pada tahun 1913 atau
saat Amin berusia 12 tahun, ia mempelajari sendiri kitab-kitab peninggalan
ayahnya sehingga beberapa tahun kemudian ia mampu menggantikan posisi ayahnya
mengajar fiqih Fathul Mu’in di Masjid
Salafiyah Kalibata Pulo yang didirikan oleh ayahnya, Guru Ali. Konon, bila Amin
mengalami kesulitan maka ia bisa menemui ayahnya lewat mimpi kemudian
mengajarkan dan memberitahukan solusi pemecahan kepadanya.
Sejak ayahnya wafat, ia
belajar kepada kakaknya, KH. Zainudin yang dipanggil Guru Ending sampai Amin
berusia 18 tahun dan Guru Ending pindah ke Cilendek Bogor . Selain kepada ayah dan kakaknya, Amin
juga berguru kepada Guru Marzuqi Cipinang Muara, Guru Mansur Jembatan Lima,
Guru Abdurrahim Kuningan dan Syaikh Mukhtar At-tharid Bogor di Makkah.
Pada tahun 1919 atau saat
berusia 18 tahun ia menikah dengan Fatimah kemudian ia pindah ke Kalibata
Jakarta Selatan. Untuk menghidupi keluarganya ia berbisnis bahan bangunan yang
memang banyak digeluti para haji di Betawi kala itu.
Karena bisnisnya berhasil
maka pada tahun 1930 ia membeli tanah hampir satu hektar di pinggir Jalan Raya
Pasar Minggu yang kemudian menjadi bagian dari areal Taman Makam Pahlawan (TMP)
Kalibata. Di sana
ia membangun rumah, pesantren Unwanul Huda dan menggerakkan bisnisnya berjualan
pasir, kapur, genteng, batu bata, semen, bambu, ubin dan bahan material
bangunan lainnya.
Untuk belanja
bahan bangunan ia pergi ke Bekasi. Perjalanan Kalibata-Bekasi saat itu menempuh
waktu sampai larut malam hingga Amin menginap di salah satu mushola di Bekasi.
Suatu ketika, Amin menginap di mushola tersebut dan sedang diadakan pengajian.
Guru ngaji di mushola itu dalam
mengajarnya terdapat kesalahan sehingga dikoreksi oleh Amin. Hal itu sering
dilakukan oleh Amin setiap ia belanja ke Bekasi dan menginap di mushola
tersebut. Rupanya, guru tersebut mengadu kepada ulama setempat bahwa ia sering
dikoreksi oleh Amin dalam setiap mengajar. Hingga pada akhirnya ulama setempat
mengundang masyarakat lain yang lebih banyak dari biasanya untuk menghadiri
pengajian di mushola dengan harapan dapat bertemu Amin. Betul saja. Amin
kembali menginap di mushola itu. Seperti biasa, Amin selalu membetulkan setiap
kalimat yang salah dari guru ngaji tersebut. Rupanya ulama setempat dari awal
sudah memperhatikan jalannya pengajian dan menyimak koreksian dari Amin.
Akhirnya ulama setempat mengetahui bahwa Amin lebih pandai dari guru ngaji
mushola itu dan mempersilahkan Amin untuk mengajar. Belakangan diketahui bahwa
ulama setempat itu adalah mertua KH. Noer Ali dan kemudian hari mertuanya
mempersaudarakan mereka berdua. Sejak itu, setiap Guru Amin pergi ke Bekasi
untuk membeli material ia menginap dan mengajar di mushola tersebut. Tidak
hanya itu, pada akhirnya banyak juga masyarakat dari Bekasi, Cikampek, Cikunir
dan Cabangbungin yang kemudian menjadi santri Guru Amin di Unwanul Huda.
Guru
Amin disamping sebagai ulama juga seorang pejuang. Ia berteman dekat dengan KH.
Noer Ali, pejuang dari Bekasi dan H. Darip, pejuang dari Klender. Guru Amin
memimpin para santri dan pemuda dalam pertempuran melawan Belanda di Kalibata,
tepatnya di sekitar pabrik sepatu Bata sekarang yang kala itu masih berupa
hutan karet. Korban yang berjatuhan di antara kedua belah pihak cukup banyak.
Peristiwa inilah yang kemudian mengilhami pemerintah menunjuk Kalibata sebagai
Taman Makam Pahlawan.
Sejak
pertempuran di Kalibata, Guru Amin dicari-cari oleh Belanda dan para
antek-anteknya. Suatu ketika, Belanda mendapatkan Guru Amin berada di rumah
mertuanya, H. Abdullah di Kalibata. Di sana ada Guru Amin, Hasbullah Amin,
puteranya dan Syarifah, salah satu familinya yang keturunan Arab. Melihat
mereka bertiga Belanda mengira bahwa Guru Amin adalah bapak dari Syarifah yang
keturunan Arab. Belanda melihat wajah Guru Amin seperti orang Arab dan bertanya
kepada Syarifah, “apa dia bapakmu ?”
Syarifah menjawab tanpa ragu “iya”.
Merasa yang dicari tidak ada maka Belanda mencari Guru Amin di tempat lain dan
Guru Amin selamat tidak tertangkap.
Menyadari
bahwa situasinya tidak kondusif lagi maka pada tahun 1946 Guru Amin hijrah ke
Cikampek dengan menggunakan KA dari Stasiun Manggarai dan menyamar sebagai
tukang beras. Selama dua tahun dalam pengungsian, Guru Amin ditampung oleh
sahabatnya, KH. Syafi’i Ahmad. Di Cikampek, Guru Amin dan para santrinya yang
berasal dari sana memimpin perjuangan melawan penjajah lewat beberapa
pertempuran di berbagai front.
Guru
Amin kembali lagi ke Kalibata pada tahun 1948. Ketika ditinggal ke Cikampek
oleh Guru Amin, ternyata rumahnya sudah diacak-acak. Semua kitab yang disimpan
di tiga lemari dihancurkan sehingga tidak bisa digunakan lagi. Ketika kembali
ke Kalibata, para santri dan masyarakat menyambutnya dengan suka cita. Hampir
tiap hari rumah Guru Amin dikunjungi oleh santri dan masyarakat. Akhirnya
Belanda mencurigai Guru Amin melakukan mobilisasi massa sehingga ia tidak
diperbolehkan keluar rumah kecuali mengajar di Pesantren Unwanul Huda dan para
santri yang harus datang ke sana.
Setelah
perang kemerdekaan, Pemerintah Pusat melalui Ir. Sofwan meminta Guru Amin
menjadi Ketua Mahkamah Islam Tinggi (MIT) yang berkedudukan di Solo. Guru Amin
menolak secara halus karena tidak mendapat restu dari ibunya. Akhirnya jabatan
tersebut diserahkan kepada KH. R. Muhammad Adnan.
Pada
tahun 1950 Menteri Agama, KH. Masykur meminta bantuan Guru Amin untuk membentuk
penghulu-penghulu (sekarang Kantor Urusan Agama/KUA) di sekitar Jakarta,
Bekasi, Tangerang dan Karawang. Guru Amin merekrut dan mengangkat para
santrinya yang mumpuni untuk mengemban tugas tersebut. Dalam waktu relatif
singkat terbentuklah 22 penghulu di 22 Kecamatan yang tersebar di Jakarta dan
sekitarnya, Tambun, Cibitung, Lemahabang hingga Pebayoran dan Cabangbungin,
wilayah terpencil yang merupakan muara dari kali Citarum.
Setelah
tugas membentuk KUA selesai, Guru Amin melaporkan langsung kepada Menteri Agama
KH. Masykur. Selanjutnya KH. Masykur meminta bantuan Guru Amin untuk bersedia
menjadi Kepala Penghulu yang mengawasi kepala-kepala KUA. Guru Amin diminta
menjadi Kepala Penghulu karena para kepala KUA adalah para murid Guru Amin dan
karena memang keilmuan Guru Amin yang tidak diragukan lagi.
Guru
Amin juga aktif di NU dan berkiprah di Partai Masyumi. Rumah Guru Amin
kerapkali dikunjungi tokoh Masyumi seperti Muhammad Natsir, Hamka, Abu Bakar
Aceh, Harsono Cokroaminoto dan lain-lain. Guru Amin juga menjadi anggota KNIP
dan anggota Dewan Perumus Persiapan Proklamasi Kemerdekaan bersama tokoh
nasional lainnya seperti Soekarno, Hatta, Abdul Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim,
Muh. Yamin, Soepomo dan lain-lain. Mereka kerapkali menggelar rapat penting di
rumah Soekarno, jalan Pegangsaan Timur No 56 Jakarta Pusat (kini Tugu
Proklamasi).
Setelah
tidak bertugas di Departemen Agama, Guru Amin kembali membenahi Lembaga Unwanul
Huda sehingga dikenal di masyarakat Betawi. Lokasi Unwanul Huda berada tepat di
seberang TMP Kalibata. Di tempat ini berdiri juga masjid Guru Amin yang cukup
megah.
Guru
Amin juga produktif menulis beberapa karya, di antaranya Badi’atul Fikriyah, Mudzakaratul Ikhwan, Riyadhul Abrar, Hidayatul
Ikhwan dan Sabilal Mubtadi.
Hampir selama 50 tahun ia aktif menulis, mengajar dan memberikan ceramah di
berbagai tempat.
Guru
Amin dikaruniai 19 orang anak. Di antaranya KH. Abdul Aziz Amin, KH. Zayadi Amin, KH. Syarifudin Amin, Ustadzah Hj. Darjah Amin, Drs. KH. Hasbullah Amin, Drs. H. Makmun Amin dan lain lain. Putra Guru Amin yaitu Drs. KH. Hasbullah Amin pernah
menjadi anggota DPRD DKI dari Partai NU pada tahun 1971-1977 dan PPP pada tahun
1977-1982 lalu DPR RI dari PPP pada tahun 1982-1987, sementara Makmun Amin adalah mantan
Asisten Keuangan Pemprov DKI Jakarta. Seorang cucu Guru Amin, Dadang Kafrawi
pernah menjadi Walikota Jakarta Selatan dan seorang keponakannya, Muhayat
pernah menjadi Walikota Jakarta Pusat dan Sekda Provinsi DKI Jakarta.
Guru Amin wafat pada Selasa 04
Jumadil Ula 1385 H bertepatan 31 Agustus 1965. Awalnya, jenazah Guru Amin akan
dimakamkan di TMP Kalibata. Guru Amin layak dimakamkan di TMP Kalibata karena
ia seorang pejuang dan telah mendapatkan Surat Veteran dari Menteri Veteran saat
itu, Sambas Atmadinata. Akan tetapi H. Syaikhu Ketua DPR RI dan H. Syafi’ie
Wakil Gubernur DKI Jakarta yang melayat saat itu menyarankan jenazah Guru Amin
tidak dimakamkan di TMP Kalibata agar para murid-muridnya bisa dengan mudah
untuk berziarah. Setelah keluarga Guru Amin bermusyawarah akhirnya Guru Amin
dimakamkan di komplek Unwanul Huda dekat masjid Guru Amin Jalan Raya Pasar
Minggu, di seberang TMP Kalibata Jakarta Selatan setelah mendapatkan surat
idzin pemakaman dari Sumarno Gubernur DKI Jakarta saat itu. Masjid Guru Amin
sendiri berdiri pada 31 Juli 2005 yang dibangun oleh anak keturunannya sebagai
tanda terima kasih mereka terhadap orang tuanya.
Setelah wafatnya Guru Amin, seorang
anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) Bidang Pendidikan dan Nama Nama Jalan
Pemda DKI Jakarta, MCH. Ibrahim mengusulkan agara nama Guru Amin
dijadikan nama jalan di wilayah Kalibata. Akan tetapi para keluarga dan
keturunannya menolak dengan halus karena bagi mereka Guru Amin berjuang untuk
negeri secara ikhlas dan tidak membutuhkan namanya dijadikan nama jalan.
SUMBER :
Judul Buku:
ULAMA BETAWI
(Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20).
Penulis: Ahmad Fadli HS
Penerbit: Manhalun Nasyi-in Press, Jakarta, 2011
ISBN:
978-602-98466-1-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar