Hanya
sedikit saja informasi yang dapat diketahui mengenai dirinya semasa masih
remaja. Guru Mahmud berangkat ke tanah suci bersama orang tua dan ketiga
saudaranya. Namun, semua anggota keluarga ini meninggal di tanah suci, kecuali
Guru Mahmud seorang, ia kemudian mengembara di Jazirah Arabia seorang diri
selama hampir 17 tahun. Untuk mempertahankan hidup, ia pernah bekerja sebagai
anggota satuan pengaman kafilah dagang yang melintas gurun-gurun Saudi.
Beberapa kebiasaan selama di sana
rupanya masih terbawa hingga kembali ke tanah air, seperti kesukaannya menunggang
kuda dan tidak banyak bicara. Untuk nafkah hidup sekembali di tanah air, ia
berdagang burung dan batu-batuan. Meskipun terbuka kesempatan menjadi penghulu,
ia menolak bekerja dan ia hanya mengharapkan “gaji dari Tuhan saja”
Guru
Mahmud mempunyai banyak hobi. Di antaranya adalah memelihara burung. Ia juga
ahli dalam melatih kuda-kuda yang masih liar untuk dijadikan kuda penarik
delman. Ia juga pedagang yang menjual balsem, keris, burung hingga batu cincin.
Kehidupan
sehari-harinya, Guru Mahmud tidak menampakkan kealimannya. Cara berpakaiannya
sangat sederhana dan membuat orang yang tidak mengenalnya tidak mengetahui
bahwa ia seorang ulama. Ia biasa memakai kaos dengan bercelana pangsi dan
sering duduk-duduk bersama dengan tukang-tukang batu cincin, tukang loak,
tukang gado-gado dan sebagainya. Hal ini yang membuat orang awam sangat
dekat dan tidak sungkan bercanda dengannya. Tetapi para ulama sangat menghormatinya
karena kedalaman ilmunya.
Guru Mahmud dikenal sebagai “jagoan”
yang tegas. Postur tubuhnya yang besar menunjang keberaniaannya terhadap
siapapun. Tetapi ia juga terkenal sebagai ulama Tafsir, yang di mata muridnya
tampak kikuk apabila tiba waktu ngaji ia kelihatan masih mengurusi
burung-burungnya. Para murid hasil didikannya yang menjadi ulama antara lain Muallim
Thabrani Paseban, KH. Abdul Hadi Pisangan, KH Muhammad (Muallim Muhammad) dari
Cakung, Muallim Syafrie dari Kemayoran dan KH. Abdullah Syafi’i, KH. Fathullah
Harun dan KH Syafi’i Hadzami.
Semasa hidupnya, Guru Mahmud
mendirikan Madrasah Muawanatul Ikhwan di Menteng dan pernah menjadi Ketua
Masjid Tangkuban Perahu sejak 1908 sampai meninggal dunia. Masjid tersebut
awalnya bernama Masjid Shihabudin yang didirikan di daerah Menteng
sekitar tahun 1870-an oleh Sayid Ahmad bin Muhammad bin Shahab. Ketika
tempat tersebut akan dibangun Tangsi Militer, Masjid Shihabudin pada
tahun 1912 dipindahkan ke Jl. Tangkuban Perahu, Guntur Setia Budi Jakarta
Selatan.
Guru Mahmud wafat pada 27 Ramadhan atau
sekitar tahun 1959 M dalam usia 93 tahun. Awalnya ia dimakamkan di Karet
kemudian dipindah ke TPU Jagakarsa Jakarta Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar