Pada
abad ke-18 dan 19 sudah banyak orang Betawi yang melakukan ibadah haji ke
Mekkah. Jumlah jama’ah haji dari Betawi cukup besar jumlahnya di antara seluruh
jama’ah haji yang datang dari Jawa. Tidak sedikit di antara jama’ah haji itu yang akhirnya bermukim dan belajar
bertahun-tahun di Makkah dan bahkan ada yang wafat di sana . Jama’ah haji yang bermukim di Makkah
memakai nama famili yang mengacu kepada daerah asalnya, seperti Al-Minangkabawi
(Minangkabau), Al-Singkili (Singkel), Al-Jawi (Jawa), Al-Bantani (Banten) dan
Al-Batawi (Betawi).
Di
antara orang Betawi yang bermukim di Makkah adalah Abdurahman Al-Mashri
Al-Batawi, teman karib Abdul Shamad Al-Palimbani dari Sumatera Selatan
(1116/1704-1203/1789) dan Muhammad
Arsyad Al-Banjari (1122/1227-1710/1812) dari Kalimantan Selatan. Kendati informasi
mengenai Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi ini sangat minim, tetapi peran dan
kiprahnya menunjukkan bahwa dia terlibat aktif secara sosial maupun intelektual
dalam jaringan ulama terpenting di Nusantara pada abad ke-18.
Sebelum
kembali ke Betawi, karena merasa belum mendapat pengetahuan yang memadai,
Abdurahman Al-Batawi bersama dengan Muhammad Arsyad dan Abdul Shamad meminta
idzin kepada gurunya, ‘Atha’ Allah Al-Mashri
untuk menambah pengetahuan di Kairo. Kendati menghargai niat baik
mereka, ‘Atha’ Allah menyarankan agar mereka lebih baik kembali ke Nusantara
sebab mereka sudah dianggap memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup dan
dapat mereka manfaatkan untuk mengajar di tanah air mereka. Mereka tetap memutuskan
pergi ke Kairo tetapi hanya untuk berkunjung bukan untuk belajar. Mungkin
sebagai tanda hubungan baik mereka dengan ‘Atha’ Allah dan kunjungan mereka ke
Kairo sehingga Abdurahman Al-Batawi menambahkan laqab “Al-Mashri” pada
namanya.
Abdurahman
Al-Mashri Al-Batawi bersama Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Al-Bugisi
kembali ke Nusantara pada 1186/1773. Sebelum ke Banjarmasin ,
atas permintaan Al-Batawi, Muhammad Arsyad tinggal di Batavia selama dua bulan. Kendati dia tinggal
di Batavia
hanya untuk waktu yang relatif singkat tetapi dia mampu melakukan pembaruan
penting bagi kaum Muslim di Batavia. Beberapa masjid di Batavia dibetulkan arah kiblatnya. Menurut
perhitungannya, kiblat masjid-masjid di
Jembatan Lima (Masjid
Kampung Sawah/Masjid Al-Mansur) dan Pekojan, tidak diarahkan secara benar menuju Ka’bah dan
karenanya harus dirubah. Kontroversipun bermunculan di kalangan para pemimpin
muslim di Batavia sehingga Gubernur Jenderal Belanda memanggil Muhammad Arsyad
untuk mengklarifikasi masalah itu. Muhammad Arsyad menjelaskan perhitungan
secara matematis sehingga membuat gubernur terkesan dan memberikan hadiah
kepadanya. Di kemudian hari, pembetulan arah kiblat itu juga diusulkan Abdurahman
Al-Batawi di Palembang ketika dia mengadakan perjalanan ke sana
sekitar tahun 1800 yang juga menimbulkan kontroversi di sana . Sayangnya, tidak diketahui data yang valid mengenai kiprah dan peran
Abdrurahman Al-Batawi selanjutnya di Betawi termasuk kapan wafatnya.
Berbeda
dengan Azra, sumber lain menyebutkan bahwa Syaikh Abdurrahman adalah orang
Mesir. Ia adalah kakek Sayyid Usman Mufti Betawi dari jalur ibu yang bernama
Aminah. Syaikh Abdurrahman Al-Mashri Al-Batawi dimakamkan di komplek Masjid
Jami Al-Islam jalan KS Tubun Raya, depan RS Pelni Petamburan Jakarta Pusat.
Untuk membedakan dengan yang lain, makamnya dikelilingi pagar hijau dan
nisannya bertuliskan Arab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar