Rabu, 04 Februari 2015

SYAIKH ABDURRAHMAN AL-MASHRI AL-BATAWI


            Pada abad ke-18 dan 19 sudah banyak orang Betawi yang melakukan ibadah haji ke Mekkah. Jumlah jama’ah haji dari Betawi cukup besar jumlahnya di antara seluruh jama’ah haji yang datang dari Jawa. Tidak sedikit di antara jama’ah haji itu yang akhirnya bermukim dan belajar bertahun-tahun di Makkah dan bahkan ada yang wafat di sana. Jama’ah haji yang bermukim di Makkah memakai nama famili yang mengacu kepada daerah asalnya, seperti Al-Minangkabawi (Minangkabau), Al-Singkili (Singkel), Al-Jawi (Jawa), Al-Bantani (Banten) dan Al-Batawi (Betawi).
            Di antara orang Betawi yang bermukim di Makkah adalah Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi, teman karib Abdul Shamad Al-Palimbani dari Sumatera Selatan (1116/1704-1203/1789) dan  Muhammad Arsyad Al-Banjari (1122/1227-1710/1812) dari Kalimantan Selatan. Kendati informasi mengenai Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi ini sangat minim, tetapi peran dan kiprahnya menunjukkan bahwa dia terlibat aktif secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama terpenting di Nusantara pada abad ke-18.
            Sebelum kembali ke Betawi, karena merasa belum mendapat pengetahuan yang memadai, Abdurahman Al-Batawi bersama dengan Muhammad Arsyad dan Abdul Shamad meminta idzin kepada gurunya, ‘Atha’ Allah Al-Mashri  untuk menambah pengetahuan di Kairo. Kendati menghargai niat baik mereka, ‘Atha’ Allah menyarankan agar mereka lebih baik kembali ke Nusantara sebab mereka sudah dianggap memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup dan dapat mereka manfaatkan untuk mengajar di tanah air mereka. Mereka tetap memutuskan pergi ke Kairo tetapi hanya untuk berkunjung bukan untuk belajar. Mungkin sebagai tanda hubungan baik mereka dengan ‘Atha’ Allah dan kunjungan mereka ke Kairo sehingga Abdurahman Al-Batawi menambahkan laqab “Al-Mashri” pada namanya.
            Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi bersama Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Al-Bugisi kembali ke Nusantara pada 1186/1773. Sebelum ke Banjarmasin, atas permintaan Al-Batawi, Muhammad Arsyad tinggal di Batavia selama dua bulan. Kendati dia tinggal di Batavia hanya untuk waktu yang relatif singkat tetapi dia mampu melakukan pembaruan penting bagi kaum Muslim di Batavia. Beberapa masjid di Batavia dibetulkan arah kiblatnya. Menurut perhitungannya,  kiblat masjid-masjid di Jembatan Lima (Masjid Kampung Sawah/Masjid Al-Mansur) dan Pekojan, tidak diarahkan secara benar menuju Ka’bah dan karenanya harus dirubah. Kontroversipun bermunculan di kalangan para pemimpin muslim di Batavia sehingga Gubernur Jenderal Belanda memanggil Muhammad Arsyad untuk mengklarifikasi masalah itu. Muhammad Arsyad menjelaskan perhitungan secara matematis sehingga membuat gubernur terkesan dan memberikan hadiah kepadanya. Di kemudian hari, pembetulan arah kiblat itu juga diusulkan Abdurahman Al-Batawi di Palembang ketika dia mengadakan perjalanan ke sana sekitar tahun 1800 yang juga menimbulkan kontroversi di sana. Sayangnya, tidak diketahui data yang valid mengenai kiprah dan peran Abdrurahman Al-Batawi selanjutnya di Betawi termasuk kapan wafatnya.
      Berbeda dengan Azra, sumber lain menyebutkan bahwa Syaikh Abdurrahman adalah orang Mesir. Ia adalah kakek Sayyid Usman Mufti Betawi dari jalur ibu yang bernama Aminah. Syaikh Abdurrahman Al-Mashri Al-Batawi dimakamkan di komplek Masjid Jami Al-Islam jalan KS Tubun Raya, depan RS Pelni Petamburan Jakarta Pusat. Untuk membedakan dengan yang lain, makamnya dikelilingi pagar hijau dan nisannya bertuliskan Arab.



SUMBER :

Judul Buku:
ULAMA BETAWI
(Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20).

Penulis: Ahmad Fadli HS

Penerbit: Manhalun Nasyi-in Press, Jakarta, 2011

ISBN978-602-98466-1-4



Tidak ada komentar:

Posting Komentar