Senin, 16 Februari 2015

KH. Mahmud Romli (GURU MAHMUD MENTENG) 1866-1959

            Asal usul ulama kelahiran daerah Menteng yang sering dipanggil Guru Mahmud ini tidak terlalu jelas. Tradisi penghormatan kepada Guru yang demikian kuat telah menghalangi para muridnya, bahkan anak-anaknya sendiri untuk menanyakan langsung riwayat hidup Guru Mahmud kepada yang bersangkutan. Adalah tidak sopan atau su’ul adab untuk menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi kepada Guru, kecuali apa yang dituturkan sendiri oleh sang guru tanpa diminta oleh muridnya. Terlebih lagi Guru Mahmud dikenal tidak suka banyak bicara, sehingga sangat sedikit informasi yang diperoleh mengenai kehidupan masa kecil dan remajanya.
            Hanya sedikit saja informasi yang dapat diketahui mengenai dirinya semasa masih remaja. Guru Mahmud berangkat ke tanah suci bersama orang tua dan ketiga saudaranya. Namun, semua anggota keluarga ini meninggal di tanah suci, kecuali Guru Mahmud seorang, ia kemudian mengembara di Jazirah Arabia seorang diri selama hampir 17 tahun. Untuk mempertahankan hidup, ia pernah bekerja sebagai anggota satuan pengaman kafilah dagang yang melintas gurun-gurun Saudi. Beberapa kebiasaan selama di sana rupanya masih terbawa hingga kembali ke tanah air, seperti kesukaannya menunggang kuda dan tidak banyak bicara. Untuk nafkah hidup sekembali di tanah air, ia berdagang burung dan batu-batuan. Meskipun terbuka kesempatan menjadi penghulu, ia menolak bekerja dan ia hanya mengharapkan “gaji dari Tuhan saja”
            Guru Mahmud mempunyai banyak hobi. Di antaranya adalah memelihara burung. Ia juga ahli dalam melatih kuda-kuda yang masih liar untuk dijadikan kuda penarik delman. Ia juga pedagang yang menjual balsem, keris, burung hingga batu cincin.
            Kehidupan sehari-harinya, Guru Mahmud tidak menampakkan kealimannya. Cara berpakaiannya sangat sederhana dan membuat orang yang tidak mengenalnya tidak mengetahui bahwa ia seorang ulama. Ia biasa memakai kaos dengan bercelana pangsi dan sering duduk-duduk bersama dengan tukang-tukang batu cincin, tukang loak, tukang gado-gado dan sebagainya. Hal ini yang membuat orang awam sangat dekat dan tidak sungkan bercanda dengannya. Tetapi para ulama sangat menghormatinya karena kedalaman ilmunya.
            Guru Mahmud dikenal sebagai “jagoan” yang tegas. Postur tubuhnya yang besar menunjang keberaniaannya terhadap siapapun. Tetapi ia juga terkenal sebagai ulama Tafsir, yang di mata muridnya tampak kikuk apabila tiba waktu ngaji ia kelihatan masih mengurusi burung-burungnya. Para murid hasil didikannya yang menjadi ulama antara lain Muallim Thabrani Paseban, KH. Abdul Hadi Pisangan, KH Muhammad (Muallim Muhammad) dari Cakung, Muallim Syafrie dari Kemayoran dan KH. Abdullah Syafi’i, KH. Fathullah Harun dan KH Syafi’i Hadzami.
         Semasa hidupnya, Guru Mahmud mendirikan Madrasah Muawanatul Ikhwan di Menteng dan pernah menjadi Ketua Masjid Tangkuban Perahu sejak 1908 sampai meninggal dunia. Masjid tersebut awalnya bernama Masjid Shihabudin yang didirikan di daerah Menteng sekitar tahun 1870-an oleh Sayid Ahmad bin Muhammad bin Shahab. Ketika tempat tersebut akan dibangun Tangsi Militer, Masjid Shihabudin pada tahun 1912 dipindahkan ke Jl. Tangkuban Perahu, Guntur Setia Budi Jakarta Selatan.
      Guru Mahmud wafat pada 27 Ramadhan atau sekitar tahun 1959 M dalam usia 93 tahun. Awalnya ia dimakamkan di Karet kemudian dipindah ke TPU Jagakarsa Jakarta Selatan. 

SUMBER :

Judul Buku:
ULAMA BETAWI
(Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20).
Penulis: Ahmad Fadli HS
Penerbit: Manhalun Nasyi-in Press, Jakarta, 2011
ISBN978-602-98466-1-4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar