Selasa, 10 Februari 2015

SAYYID USMAN BIN ABDULLAH BIN AQIL BIN YAHYA (1822-1914). MUFTI BETAWI




             Sayyid Usman lahir di Pekojan pada tanggal 17 Rabbiul Awal 1238 H/01 Desember 1822 M. Ayahnya adalah Sayyid Abdullah bin Agil bin Umar bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Aminah binti Syaikh Abdurrahman al-Misri.
        Sayyid Usman pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji tetapi kemudian bermukim di sana selama 7 tahun dengan maksud memperdalam ilmunya. Di Mekah ia belajar pada ayahnya dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Mekah.
            Pada tahun 1848 ia berangkat pula ke Hadramaut untuk belajar pada Syaikh Abdullah bin Husein bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf al-Jufri dan Habib Hasan bin Shaleh al-Bahar. Dari Hadramaut ia berangkat pula ke Mesir dan belajar di Kairo walaupun hanya untuk 8 bulan. Kemudian meneruskan perjalanan lagi ke Tunis (berguru pada Syaikh Abdurrahman al-Maghgribi), Istambul, Persia dan Syria.  Maksud Sayyid Usman bepergian dari suatu negeri ke negeri lain adalah untuk memperoleh dan mendalami bermacam-macam ilmu seperti ilmu fiqh, tasawuf, tarikh, falak, dan lain-lain. Setelah itu ia kembali ke Hadramaut.
            Pada tahun 1279 H/1862 M ia kembali ke Batavia dan menetap di sini hingga wafatnya pada tahun 1331 H/1913 M. Sayyid Usman diangkat menjadi mufti menggantikan mufti sebelumnya, yaitu Syaikh Abdul Gani yang telah lanjut usianya dan juga sebagai Adviseur Honorer untuk urusan Arab (1899-1914) di kantor Voor Inlandsche Zaken. Di sana Sayyid Usman digaji 100 Gulden sebulan atau 1/7 dari gaji Snouck Hurgronje. Ia terlibat dalam politik sebagai penasehat pemerintah Belanda dan menjalani hubungan dengan Snouck, L.W.C. Van den Berg dan K.F. Holle.
            Di Batavia, ia juga mengabdikan hidupnya untuk berdakwah, mengajar dan menulis. Ia merupakan guru agama yang dicari masyarakat Betawi. Dia mulai mengajar di Masjid Pekojan dengan bantuan ulama terkenal Abdul Ghani Bima. Sayyid Usman dengan tegas menolak perkawinan antara Sayyid dan non Sayyid dan kerapkali berpolemik dengan ulama lain. Dia pernah mengkritik keras Syaikh Ismail al-Minangkabawi dan Syaikh Sulaiman al-Affandi yang memperkenalkan tariqat Naqshbandiyah di Minangkabau. Menurut Sayyid Usman, tarekat ini telah membawa kehancuran umat Islam. Dia juga terlibat polemik dengan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi tentang “dua masjid” di Palembang. Sayyid Usman juga sangat anti gerakan Wahabi dan menganggap gerakan itu sangat radikal. Dalam bukunya “Mustika Pengaruh buat Menyembuhkan Penyakit Keliru” dia berpendapat bahwa kaum Wahabi adalah paling berdusta.
            Sayyid Usman membantu Belanda dalam persoalan politik karena menginginkan perdamaian di Hindia Belanda dan menegakkan hukum guna keamanan. Oleh karenanya banyak ulama kurang bersahabat dengannya. Dalam karyanya “Minhâj al Istiqâmah fî al-Din al-Salâmah (1307/1889-1890) dia membahas tentang jihad. Dalam karya itu ia menjelaskan jihad di Banten yang muncul pada 1888. Menurutnya, jihad di Banten adalah salah memahami tentang ajaran Islam. Menurutnya jihad tersebut adalah hanya gangguan keamanan yang akan membawa sengsara bagi umat Islam. Ia menyebut para pelaku jihad adalah syaitan karena pengikut jihad telah mengabaikan ajaran Islam.
            Sayyid Usman merupakan ulama yang berorientasi pada syariah dan mengkritik praktek bid’ah. Dia sangat kritis tentang ahli tarikat atau tasawuf. Menurutnya, tasawuf tidak boleh diajarkan kepada orang awam. Seorang harus memahami tauhid, fiqih dan sifat hati untuk memahami tasawuf. Sayyid Usman berpendapat bahwa Islam terdiri dari tiga bagian, syariah, tariqah dan haqiqah. Syariah adalah semua perintah dan larangan Allah. Tariqah adalah implementasi syariah dan haqiqah adalah adopsi konsep bahwa semua adalah ciptaan dan milik Allah dan tujuan akhir mereka telah ditentukan oleh Allah SWT. Dia berpendapat bahwa para sufi masa kini hanya menciptakan bid’ah yang menimbulkan keraguan melalui tariqah mereka. Dia berpendapat bahwa tariqah-tariqah yang didirikan oleh al-Junaid bin Muhammad al-Baghdadi, al-Sadah al-Alawiyah, tariqah dari al-Ghazali, al-Qadiriyah, Rifa’iyah, Naqshabandiyah dan Khalwatiyah adalah tariqah yang sesuai dengan syariah. Sayyid Usman menyepakati bahwa beberapa sufi di masa silam adalah orang keramat karena mereka adalah aulia Allah. Akan tetapi tariqah Naqshbandiyah yang dirintis oleh Syaikh Ismail al-Minangkabawi dan Sulaiman al-Affandi yang mempunyai pengikut di dunia Arab dan Nusantara telah banyak kesalahan.
            Kendati demikian, Muhammad Syamsu berpendapat bahwa jika ada asumsi bahwa Sayyid Usman adalah orang yang anti tarekat, maka tidak benar sebab ia belajar tasawuf dan tarekat di Hadramaut dan Makkah. Sayyid Usman hanya menentang tarekat yang menyimpang dari agama. Selain ke Makkah dan Hadramaut ia belajar ke Mesir, Tunis, Aljazair, Jordania dan Turki. Oleh karena budaya modern di negara tersebut maka ia berpakaian modern dan bisa diterima karena luas pergaulannya. Karena ilmunya yang luas maka dia diangkat menjadi Mufti Betawi oleh pemerintah Hindia Belanda.
            Sayyid Usman termasuk ulama yang berjasa besar dalam hal pengajaran agama melalui media cetak di kalangan masyarakat Betawi. Ia memiliki percetakan sendiri di Tanah Abang (sekarang daerah Petamburan). Kendati Sayyid Usman tidak memiliki keturunan yang meneruskan jejaknya sebagai juru dakwah tetapi usaha dakwah di Petamburan sekarang diteruskan oleh KH. Usman Abidin. Orang Betawi menyebutnya “Kiai Bima” karena ia adalah seorang keturunan Abdul Gani Bima, ulama terkenal Nusantara di Haramain abad ke-18 yang menjadi salah satu sanad bagi sejumlah ulama Betawi.
            Sebagai seorang ulama, Sayid Usman sangat produktif dengan mengarang 126 lebih buku. Kendati karangannya pendek dan sekitar 20 halaman saja, tetapi banyak mengenai pertanyaan yang timbul dalam masyarakat muslim tentang syariat Islam. Beberapa di antara buku karangannya yaitu :
1.      Taudhih al-Adillati ‘ala Syurûthi Syuhûdi al-Ahillah, 1873 M.
2.      Al-Qawânin asy-Syar’iyah li Ahl al-Majâlisi al-Hukmiyah wal Iftâiyah. 1881. Buku petunjuk umum untuk para penghulu.
3.      Ta’bir Aqwa ‘adillah.
4.      Jam’al-Fawâid, 1301 H.
5.      Sifat Dua Puluh.
6.      Irsyâd al-Anâm.
7.      Zahr al-Basim.
8.      Ishlâh al-Hal.
9.      At-Tuhfat al-Wardiah.
10.  Silsilah Alawiyah.
11.  Ath-Thâriq ash-Shahihah.
12.  Taudhih al-Adillah.
13.  Maslak al-Akhyar.
14.  Sa’âdal al-Anâm.
15.  Nafâis an-Nihlah.
16.  Kitab al-Farâid.
17.  Saghauna Sahaya.
18.  Muthâla’ah.
19.  Soal Jawab Agama.
20.  Tujuh Faedah.
21.  An-Nashihat al-aniwah.
22.  Khutbah Nikah.
23.  Al-Qur’ân Wa ad-Dua.
24.  Ringkasan Ilmu Adat Istiadat.
25.  Ringkasan Seni membaca Al-Qur’an.
26.  Membahas Al-Qur’an dan Kesalahan dalam berdoa.
27.  Perhiasan.
28.  Ringkasan Unsur Unsur Doa.
29.  Ringkasan Tata Bahasa Arab.
30.  As-silsilah an Nabawiyah.
31.  Atlas Arabi.
32.  Gambar Makkah dan Madinah.
33.  Ringkasan Seni Menentukan Waktu Sah untuk Sholat.
34.  Ilmu Kalam.
35.  Hukum Perkawinan.
36.  Ringkasan Hukum Pengunduran Diri Istri Secara Sah.
37.  Ringkasan Undang-Undang Saudara Susu.
38.  Buku Pelajaran Bahasa dan Ukuran Benda.
39.  Adab al-Insan.
40.  Kamus Arab Melayu.
41.  Cempaka Mulia.
42.  Risalah Dua Ilmu.
43.  Bab al-Minân.
44.  Keluarga.
45.  Khawâriq al-adat.
46.  Kitab al-Manasik.
47.  Ilmu Falak.
            Di antara karya Sayyid Usman yang terpenting adalah Tawdîh al-Adillat ‘ala Syurûth Syuhûd al-Ahillat. Latar belakang kitab ini adalah karena pada tahun 1882 umat Islam di Jakarta terbagi dua dalam menentukan awal puasa Ramadhan. Sebagian mulai puasa Ramadhan pada hari Minggu dan sebagian mulai puasa pada hari Senin.
            Dalam bukunya Risalah Dua Ilmu Sayyid Usman membagi ulama menjadi 2 macam, yaitu ulama dunia dan akhirat. Ulama yang tidak ikhlas, materialistis, berambisi dengan kedudukan, sombong dan angkuh termasuk ulama dunia. Sedangkan ulama yang ikhlas, tawadlu, yang berjuang mengamalkan ilmunya tanpa pretensi apa-apa, lillahi ta’ala hanya mencari ridla Allah semata maka termasuk ulama akhirat.
            Kendati Sayyid Usman diakui keilmuannya, tetapi tidak banyak ulama Betawi terkemuka yang belajar kepadanya. Hal ini kemungkinan dengan posisinya sebagai Penasehat Pembantu bagi pemerintah Belanda pada Het Kantoor voor Islamitische en Arabische Zaken. Bagi para ulama Betawi saat itu, seorang ulama yang bekerja pada pemerintah, sekalipun sebagai penghulu tidak dipandang terhormat kendati ilmunya luas. Kendati demikian, Sayyid Usman telah berhasil mendidik salah satu muridnya dari Kuningan yang kelak menjadi ulama besar yang disegani dan dipanggil dengan sebutan Guru Mugni dan Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi yang dipanggil dengan sebutan Habib Ali Kwitang.
             Sebelum wafat Sayid Usman berpesan agar makamnya tidak dibuat kubah dan tidak perlu mengadakan haul untuk dirinya. Sayid Usman Sayid Usman wafat pada 21 Shofar 1331 H atau bertepatan 19 Januari 1914 M, jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Namun pada masa Gubernur Ali Sadikin, makam Sayid Usman digusur dan oleh pihak keluarga dipindahkan ke Pondok Bambu. Sekarang makamnya masih terpelihara dengan baik di sebelah Selatan masjid Al-Abidin di jalan Masjid Abidin Sawah Barat, Pondok Bambu, Jakarta Timur.

SUMBER :

Judul Buku:
ULAMA BETAWI
(Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20).
 
Penulis: Ahmad Fadli HS
 
Penerbit: Manhalun Nasyi-in Press, Jakarta, 2011
 
ISBN978-602-98466-1-4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar